Search This Blog

Surat Tanpa Ayat

“Sesungguhnya, orang hidup di dunia itu ibarat mampir ngombé. Hidup ini cuma sementara. Makanya orang hidup itu tidak usah néko-néko. Hidup yang kekal itu kelak hanya ada di aherat sana—di surga yang masih Wallahu ‘Alam sana?!”
“Maksud guru di atas langit sana kan?!”

Gheni memotong pembicaraan gurunya. Sesekali menyeruput secangkir kopi panas sehingga terlihat giginya berwarna kuning dan keropos menyerupai pagar besi berkarat yang terpasang semrawut di depan rumah orang tuanya di komplek Pasar Kembang, Jogja. Entah gigi-gigi itu rusak karena sudah bawaan dari kecilatau karena kuwalat melanggar perintah Tuhan ketika makan dan minum tidak mengucap Bismillahtentunya hanya Gheni yang tahu dan akan menanggung dari semua perbuatannya sendiri.
“Memang kamu tahu di atas langit sana ada apa saja?!” celetuk guru Landhung.
   
Gheni menggelengkan kepala sembari melongo menatap guru Landhung. Tatapannya kosong. Pikirannya melantur kemana-mana. Jangankan untuk menjawab pertanyaan di atas langit ada apa saja. Bahkan untuk membaca saja Gheni butuh bantuan teman-temannya untuk mengeja. Gheni tidak tahu apa itu titik (.), koma (,), tanda seru (!), dan tanda tanya (?). Gheni tida bisa membedakan antara tanda dan makna. Walau usianya sudah menginjak sebelas tahun, tapi seumur hidup dia tidak pernah mengenyam kurikulum di sekolah. Yang Gheni tahu, semua ilmu pengetahuan itu dinamakan sejarah. Sejatine winarah.
   
Tapi ada satu hal yang membuat  guru Landhung kagum dengan sosok Gheni. Bukan lantaran sifat keberaniannya ‘kalah cacak menang cacak’ yang tidak takut kepada semua orang yang dijumpainya. Kelebihan Gheni adalah bisa menguasai angka-angka dengan nyaris sempurna. Gheni bisa menghitung perkalian, penjumlahan, pembagian, dan pengurangan dengan sangat cepat. Otaknya seperti mesin kalkulator ketika melihat angka-angka.

Bahkan, ketika suatu malam sedang duduk di teras rumah bersama guru Landhung, tiba-tiba Gheni memberitahu kepada guru Landhung kalau jumlah bintang yang berada di atas halaman rumahnya sebanyak 5136.  Tapi yang 1036  bintang hanya bisa dilihat oleh Gheni sendiri. Karena 1036 bintang itu kelihatan sangat kecil sekali dan tidak bisa dilihat dengan mata orang tua seperti guru Landhung yang umurnya sudah menginjak 65 tahun.
    
Pengakuan Gheni malam itulah yang membuat guru Landhung semakin kagum dan diam-diam menyimpan keinginan untuk belajar angka-angka kepada Gheni
“Memang kamu tahu di atas langit sana ada apa saja?!” guru Landhung mengeraskan suara. Mengulangi pertanyaannya sambil memelototi wajah Gheni yang masih bengong.
***

“Ya. Aku tahu guru di atas langit sana ada apa saja?!”
   
Tujuh tahun selang, Gheni baru bisa menemukan jawaban dari pertanyaan guru Landhung ketika tanpa sengaja mencuci muka di sungai, Gheni melihat bintang-bintang yang bertebaran dari pantulan air di sungai itu. Lantas, Gheni menyimpulkan jawaban dari guru Landhung bahwa, sesungguhnya di atas langit sana ada air. Hanya ada air. Rasanya di dunia ini tidak ada benda yang lebih hebat bisa mengalahkan kedahsyatan air. Bahkan karena saking terinspirasi dengan air, malam itu juga Gheni langsung mengganti namanya menjadi Banyu. Barangkali selama ini orang tuanya salah memberi nama kepada dia. Gheni artinya api. Benda panas. Sebagai simbol dari setan. Sedangkan Banyu sendiri artinya air.  
   
Tapi yang membuat dia tidak habis pikir, kenapa guru Landhung dari dulu tidak pernah mengganti namanya? Padahal guru Landhung mengenal dia sejak kecil. Rumahnya hanya berjarak 20 meter dari rumah Banyu. Bedanya rumah guru Landhung berada di depan masjid. Sedangkan rumah Banyu berada di komplek prostitusi. Ibunya berprofesi sebagai pelacur. Sedangkan kerjaan Ayahnya tiap hari cuma berjudi. Sejak kecil sesuatu hal yang Banyu lakukan hanyalah mengambil sobekan kertas kecil berisi tulisan angka dari  bank lintah darat yang tiap malam menagih hutang kepada pelacur di komplek Pasar Kembang. Mungkin berawal dari situlah Banyu bisa leluasa menguasai angka-angka. Karena tidak pernah satu tulisanpun yang dia baca kecuali angka. Hanya angka.
“Aku tahu guru, di atas langit sana ada air?!”
   
Banyu meneteskan air mata ketika mau memberitahu jawaban itu kepada guru Landhung, tapi guru Landhung sudah keburu meninggal satu tahun yang lalu. Yang bisa Banyu lakukan hanyalah menyimpan jawaban itu di dalam hati. Banyu selalu menyimpan jawaban itu kemanapun dia pergi. Di manapun dia melangkahkan kaki.
“Di atas langit sana ada air. Di atas langit sana ada banyu. Di atas langit sana ada aku?! Ada Aku!”
****

Sejak mengganti namanya menjadi Banyu, dia tumbuh berkembang menjadi anak remaja liar dan keras yang menghabiskan waktunya hidup di jalan. Dia tidak mau tinggal di rumahnya yang tiap hari hanya digunakan orang tuanya sebagai tempat maksiat. Entah siapa sekarang yang menjadi gurunya Banyu setelah guru Landhung meninggal, Wallahu ‘Alam. Yang jelas Banyu berubah menjadi anak remaja cerdas yang haus akan ilmu. Rasanya di dunia ini tidak ada sesuatu hal lebih nikmat yang bisa Banyu lakukan kecuali hanya mencari ilmu.
   
Ketika pada suatu kesempatan Banyu membaca salah satu buku berbunyi,  Tuntutlah ilmu sampai ke negeri China, maka saat itu juga Banyu mempunyai keinginan keras langsung pergi ke China untuk mencari ilmu.  Rasanya tidak susah bagi Banyu untuk merayu turis asing yang sedang berkunjung ke Jogja agar mau mengajaknya pergi ke China. Banyu menguasai Bahasa Inggris dengan fasih dan mempunyai banyak teman bulé dari berbagai negara yang tiap hari menemani kemanapun dia pergi.
   
Alhasil, Banyu bisa menginjakkan kaki ke China dengan ilmu itu. Apapun keinginannya bisa tercapai dengan ilmu. Bahkan sampai beberapa negara di belahan Benua Eropa dan Amerika sudah pernah Banyu kunjungi sekedar untuk menemani teman-temannya meneguk vodka dan marijuana. Tidak jarang juga Banyu melihat dengan mata kepala sendiri ketika teman-temannya menelusuri goa garba dari beraneka macam wanita yang pernah dijumpainya di beberapa negara.

Tidak ada yang kurang bagi Banyu untuk bersenang-senang. Cita-citanya semula mencari ilmu sudah hilang. Hingga ahirnya Banyu sadar bahwa yang dijumpainya sekarang ini tidak jauh beda dengan tempat maksiat di kota kelahirannya di Pasar kembang, Jogja. Perang dunia kedua ketika pesta pora Adam dan Hawa tak henti-hentinya merajalela bertahta. Tiba-tiba Banyu teringat kepada kedua orang tuanya.
“Ya Tuhan, apa yang harus kuperbuat?”

Tanpa sengaja Banyu menyebut nama Tuhan. Banyu tidak bisa berbuat apa-apa lagi kecuali hanya meminta tolong kepada Tuhan. Semua teman-temannya sudah pergi. Meninggalkan Banyu sendiri. Banyu terdampar di sebuah padang pasir yang sangat gersang. Di negara Pakistan. Sebuah negara islam yang hanya mengenal nama Bilal, Hasyim, Adam, Ibrahim atau Muhammad, dan tidak mengenal nama Banyu maupun Gheni. Banyu tersadar bahwa selama ini ilmu sudah menjerumuskan dirinya dengan nafsu. Seseorang akan tersesat mempelajari ilmu tanpa Guru.

Banyu terus menangis. Menyesali semua kebodohannya. Kakinya sudah terlalu lelah untuk melangkah. Batinnya terlalu sakit untuk menjerit. Nafasnya terlalu sesak untuk berteriak. Perlahan-lahan, tubuh Banyu terhempas di atas pasir. Kepalanya menengadah. Pasrah. Kedua matanya hanya bisa kedap-kedip memandang kemerlip bintang di langit. Banyu teringat pertanyaan guru Landhung yang pernah dilontarkan kepadanya ketika dia belum bisa apa-apa. Ketika Banyu tidak tahu sama sekali tanda baca dan makna kecuali hanya mengenal angka-angka.
“Memang kamu tahu di atas langit sana ada apa saja?!”
****

Banyu terkulai lemas tak sadarkan diri. Seperti mati suri. Tidak ada yang bisa dia lakukan kecuali hanya mengedipkan mata. Memahami rahasia.
“Excuse me, are you ok?” Tiba-tiba terdengar suara perempuan dengan sangat merdu mendesing di telinga Banyu.
“Excuse me, are you ok? May i help you?”

Banyu membuka mata perlahan-lahan. Dengan pandangan agak sedikit kabur, dia melihat di depannya ada perempuan cantik dengan tubuh jenjang, hidung mancung, kulit bersih, dengan wajah sangat teduh dan sejuk. Perempuan itu mengenakan jilbab dengan motif warna pelangi. Banyu pernah lihat di buku kalau jilbab seperti yang dikenakan perempuan itu berasal dari Maroko. Konon jilbab itu hanya dikenakan oleh perempuan yang sudah mengalami ruang tasawuf yang sangat dalam.
“Excuse me, where do you come from?” Perempuan itu mengulangi pertanyaannya sambil menatap wajah Banyu yang lemas dan pucat.
“Indonesia,” jawab Banyu dengan suara terbata-bata.
“Indonesia?” Perempuan itu setengah tidak percaya mendengar jawaban Banyu. “Indonesia adalah negara yang sangat indah. Aku jatuh cinta dengan Indonesia.”
“Can u speak indonesia?” sahut Banyu dengan semangat.
“Ya, aku sudah tiga tahun tinggal di Indonesia. Tepatnya di Aceh. Aku pernah main ke Jakarta, Surabaya, Malang, dan Jogja.”
“Aku dari Jogja. Rumahku tidak jauh dengan Malioboro. Tepatnya di komplek pelacuran Pasar Kembang.”
“Oh ya, Subhanallah,” jawab Yasmeen dengan bahagia. “Aku tidak menyangka kalau akan ketemu orang Jogja di Pakistan sini. Ternyata Allah mengabulkan doaku.”
“Doa?!”  
***
   
Ya, doa. Selama ini Banyu lupa kalau dirinya hampir tidak pernah berdoa. Selama ini yang dia pikirkan hanya tanda baca, ilmu, dan makna. Perkenalannya dengan perempuan itu, membuat Banyu seolah-olah melupakan semua keinginannya untuk mencari ilmu. Dalam benak Banyu hanya ingin mengetahui dan bertemu dengan Tuhan.
Dengan Tuhan….
“Nama kamu bagus. Yasmeen Ahmed.” Banyu mencoba membuka pembicaraan ketika mereka berdua berada di sebuah serambi Masjid, di rumah Yasmeen.
“Ayahku yang memberi aku nama itu. Artinya melati dari Rosulullah.”
“Kalau namaku dulu Gheni, artinya api. Sekarang aku ganti dengan Banyu, artinya air. Ketika namaku dulu masih Gheni, aku orang yang bodoh. Tidak tahu apa-apa kecuali hanya angka. Kemudian ketika aku mengganti nama dengan Banyu, tiba-tiba aku bisa belajar ilmu dengan sangat cepat. Aku punya banyak guru. Tapi ternyata ahirnya aku juga punya banyak nafsu. Aku lupa menghitung angka hingga tanpa aku sadari umurku sudah menginjak 27 tahun. Waktu melaju begitu cepat. Sangat cepat. Sampai-sampai aku tidak tahu apa yang sudah aku perbuat. Aku sekarang tidak punya apa-apa. Kecuali hanya dosa.”
“Jangan menyesali diri sendiri Banyu. Tidak baik. Umurku sekarang sudah 30 tahun, tapi aku belum menikah. Seburuk-buruknya anak muda adalah anak muda yang belum menikah.” Yasmeen tersenyum kecil. Sambil mengerlingkan lesung pipinya yang sangat sejuk.
“Kenapa belum menikah? Jika boleh jujur, sosok kamu sesuai dengan nama kamu. Yasmeen Ahmed. Melati dari Rosulullah.”
“Tidak sedikit orang yang bilang begitu kepadaku, Banyu. Tapi entahlah, kadang aku bingung dengan misteri.”

Yasmeen menghela nafas panjang. Sesekali menatap wajah Banyu yang pandangannya menerawang kosong melihat langit. Sambung Yasmeen, “Dulu aku pernah solat istiqarah dan mohon diberi petunjuk kepada Tuhan siapakah jodohku. Kemudian dalam mimpi itu aku berada di suatu tempat. Tapi dalam keyakinanku tempat itu Indonesia. Di Jogja. Aku bertemu dengan orang sufi. Mungkin orang itu adalah jodohku.”

Banyu langsung terperangah mendengar perkataan Yasmeen kalau jodohnya orang dari Jogja. Tapi sangatlah tidak mungkin kalau jodoh Yasmeen adalah dia. Banyu tidak tahu apapun soal agama. Dia tidak bisa membaca Al-Qur’an. Bahkan satu surat sekalipun dia tidak bisa. Apalagi menjadi seorang sufi.

Mata Banyu masih kosong menerawang langit. Apakah benar di atas langit sana ada air? Atau ada api? Atau jangan-jangan ada aku? Banyu terus berfikir menemukan jawaban dari pertanyaan guru Landhung di atas langit sana ada apa saja. Sesaat kemudian, Banyu menundukkan kepala sembari menatap wajah Yasmeen.
“Maukah kamu menikah denganku, Yasmeen? Jujur sekarang aku tidak punya apa-apa. Bahkan sepeser uang sekalipun. Tapi jika kamu tahu, aku lebih kaya dari Ayahmu yang mempunyai pesantren, rumah, mobil, dan setumpuk harta lainnya.”
“Oh ya,” Yasmeen menatap wajah Banyu dengan penasaran. “Alasanmu kenapa?”   
“Pernah suatu malam duduk sendiri, aku bertanya kepada Tuhan. Tuhan, berapakah harga langit-langit, bintang, dan bulan? Aku ingin membelinya.”
“Terus Tuhan bilang apa?”
“Tuhan hanya diam. Tidak menjawab apa-apa. Bahkan sampai sekarang juga tidak ada orang satupun yang memberitahuku berapa harga langit-langit, bintang, dan bulan itu. Lantas aku berfikir, mungkin sekarang ini aku adalah orang paling kaya sedunia. Ketika orang lain hanya bisa mempunyai mobil, rumah, perusahaan, dan setumpuk harta lainnya, tapi aku pernah berniat untuk membeli langit-langit, bintang, dan bulan. Seandainya saja sekarang ini Tuhan memberitahu aku berapa harga langit-langit, bintang, dan bulan itu, maka aku akan membelinya dan aku berikan kepadamu sebagai mahar pernikahanku.”
“Dengan apa kamu akan membelinya? Dengan uang?”
“Bukan. Bukan dengan uang.”
“Dengan ilmu?
“Juga bukan.”
“Terus?!”
“Jujur sekarang aku tidak punya uang dan ilmu. Aku juga tidak bisa baca Al-Qur’an sama sekali. Bahkan satu surat sekalipun. Apalagi menjadi seorang sufi. Tapi aku pernah mendengar perkataan Cak Nun. Tanpa aku sadari beliau adalah salah satu guruku. Beliau pernah bilang bahwa ilmu pengetahuan seluas samudera sekalipun, harta sebanyak apapun di muka bumi ini, sesungguhnya semua ilmu dan harta itu tidak akan ada apa-apanya kalau sudah dihadapkan pada….”
“Apa itu, Banyu?!”
“Iqra’….”
“Jadi satu ayat itu yang akan kamu pakai sebagai mahar pernikahan untuk melamarku?!”
“Ya, Iqra’ Yasmeen Ahmed.”
“Iqra’….”