Tak lama lagi mentari menyingsing dari
balik birunya pegunungan. Bintang pengantar raja siang mulai redup
perlahan-lahan. Suara kokokan ayam jantan beberapa kali terdengar dari
balik peraduannya. Dari arah jalan setapak beberapa rombongan orang
terlihat dari mesjid. Mungkin mereka baru saja menunaikan ibadah
shalat
subhu. Pemandangan seperti itu tak seperti biasanya. Hari itu agak
sedikit aneh. Sebab biasanya hanya beberapa orang saja yang mau bangun
cepat untuk shalat, itu pun semuanya hanya orang tua, tak satu pun anak
muda. Tapi di hari itu berbeda, hampir semua orang yang ada di kampung
itu telah ikhlas menunaikan shalat berjamaah. Mulai dari anak-anak,
remaja, hingga orang tua.
Setelah langkah para rombongan itu berlalu dari pandangan mata A’ba
Diang, ia pun mulai bergegas menuju ruang rumahnya yang terbuat dari
anyaman bambu. Suara reok lantainya yang akan membuat hati deg-degan
bagi siapa saja yang mendengarnya. Namun semua itu sepertinya
lumrah-lumrah saja Buat lelaki jompo itu. Suara gesekan lantai dari
bambu itu pelan-pelan menghilang. Seiring terbitnya mentari menyongsong
dari balik cerahnya biru pegunungan dari sisi kanan rumah A’ba Diang.
Sekitar jam tujuh pagi, seperti biasanya A’ba Diang mulai meraih
tongkatnya kembali menuju belakang rumahnya. Dengan seluruh tubuhnya
yang mulai gemetaran ia masih saja terlihat begitu kuat untuk
melangkahkan kakinya ke kebun miliknya yang ada di belakang rumahnya
sendiri. Sarung yang bercorak putih biru yang sudah tampak begitu kusam
seakan membantu untuk mengangkat kedua kakinya secara bergantian.
Akhrinya A’ba Diang mulai terlihat mencabuti satu persatu rerumputan
yang tumbuh lebat di seluruh kebun singkongnya.
Baru beberapa menit saja menjongkok sambil mencabuti rumput yang
menghijau, A’ba Diang pun mulai terlihat mengucurkan keringat di seluruh
tubuhnya. Melihat semua itu, matahari seakan sungkan untuk
menyinarinya. Namun disebabkan keterbiasaan, A’ba Diang terlihat santai
saja. Meskipun batuk sesekali terdengar keluar dari kerongkongan
mulutnya.
Bukan karena dia takut tak akan makan jika tak bekerja.
Namun akibat keterbiasaan bekerja selama ia masih muda dulu membuatnya
tak enak badan jika tak bekerja lagi. Itulah sebabnya, meskipun tubuh
sudah berbau tanah, A’ba diang masih saja tetap tekun bekerja.
Matahari masih saja nampak bersinar lembut di dinding langit.
Seperti lembutnya A’ba Diang bekerja. Namun, di balik pandangannya yang
mulai rabun, bola matanya sepertinya sedang melirik sesuatu. Memang, di
arah sisi kiri kebunnya, di bawah naungan rimbunnya pohon mangga
terlihat beberapa kadang ayam. Bukannya A’ba diang sedang mencari-cari
di mana keberadaan ayam-ayamnya. Tetapi melainkan lelaki tua itu
menunggu-nunggu datangnya rombongan penyabung ayam. Heran, A,ba Diang
sangat terlihat keheranan. Mengapa jam hampir separuh dari setengah hari
para penyabung ayam itu belum juga bermunculan. Padahal di hari-hari
sebelumnya, boleh dikatakan matahari belum sempat hadir menyinari siang
kampung itu telah diramaikan oleh hempasan-hempasan sayap ayam yang
melompat menghantam lawannya dengan tararing tajamnya. A’ba Diang terus
saja diselimuti rasa keheranan.
Bukan hanya tempat penyabung ayam yang sepi. Setiap harinya di
kampung A’ba Diang pun diramaikan oleh para pemuda membawa gadis-gadis
pemuas nafsu berkeliaran dalam keadaan mabuk. Namun di hari yang itu
juga, tapak-tapak jalan terlihat sepi oleh mereka. A’ba Diang pun
semakin diselimuti ribuan kata tanya. Ada apa dan mengapa.
Disebabkan rasa ketidak percayaan yang begitu menjulang tinggi, A’ba
Diang tak merasa raja siang pun telah bersinar tepat di atas ubun-ubun
kepalanya. Lalu sejurus dengan itu Suara azan pun telah menggema dari
arah mesjid yang tidak begitu jauh dari letak rumahnya. Baru tersadarkan
akan hal itu, A’ba Diang pun mulai berdiri perlahan-lahan dari
jongkoknya dan bergegas melangkah munuju gubuk tuanya dengan tongkatnya
yang setia menemaninya ke mana A’ba Diang Melangkah. Sesampai di
gubuknya, ia masih saja memikirkan hal apa yang membuat sehingga
kebiasaan miring orang-orang sekampungnya itu sudah tiada lagi.
Dengan berjalan pelan, A’ba Diang meletakkan kopiahnya yang sudah
tak menghitam lagi ke samping tongkatnya yang ada di atas meja yang
terbuat dari bambu. Lalu ia pun terlihat bersandar di tiang rumah
sekedar ingin mengusir rasa lelahnya melalui hembusan nafasnya. Namun,
tidak berapa lama kemudian A’ba Diang seketika tersentak. Setelah
beberapa menit memandangi kalender pemberian calon gubernur beberapa
bulan yang lalu. Bukan karena apa, rupanya A’ba Diang tersentak akibat
mendengar riuhnya orang-orang sekampung menuju mesjid. Sepertinya mereka
ingin menjalankan ibadah shalat dzuhur secara berjamaah. Dari balik
daun jendela rumahnya, A’ba Diang melihat betapa ramainya mesjid di hari
itu. Semakin saja A’ba Diang tak mengerti dengan kelainan orang-orang
sekampungnya. Akhirnya, dengan mengusir semua itu, A’ba Diang memutuskan
untuk membersihkan tubuhnya. Lalu ia pun mendirikan shalat.
Selepas
mendirikan salat dzuhur dan makan siang, A’ba Diang kembali duduk
santai di depan pintu gubuknya. Pandangannya tiba-tiba saja tertuju pada
rombongan pemerintah dari pusat hingga daerah sedang bercengkrama
dengan orang-orang yang baru saja pulang dari mesjid. Memperhatikan
rombongan itu, ternyata mereka ingin meminta maaf kepada orang-orang.
Hal itu diketahuinya ketika rombongan pemerintah itu mendatangi rumah
A’ba Diang.
“ Assalamualaikum puang. Maksud kedatangan kami ke
kampung ini ingin meminta maaf,” kata seorang perwakilan rombongan.
Dengan keadaan heran, sambil berjabatan tangan A’ba Diang berkata.
“ Maaf sebelumnya. Maksud bapak dan ibu sekalian apa”.
Sambil meneteskan air mata, salah satu lelaki yang berpakaian dinas itu kembali berkata,
“
Begini puang. Selama ini kami banyak melakukan kesalahan kepada
masyarakat. Termasuk ke puang. Selama ini kami banyak melakukan korupsi.
Memakan uang-uang rakyat. Dan tidak pernah memperdulikan orang-orang
yang tidak mampu. Jadi kami mohon puang, maafkanlah kesalahan-kesalahan
kami selama ini,” kalimatnya yang terdengar tersendat-sendat akibat air
mata tangisan mereka yang tak terbendung lagi.
“ Oh. Tidak apa-apa
nak. Anggaplah semua itu hanyalah sebuah kesalahan yang mengantarkan
kita ke jalan yang benar,” balas A’ba Diang.
“ Terimah kasih puang.
Kami janji, mulai sekarang kami akan bekerja hanya untuk semata-mata
demi kemasalahatan masyarakat. Kami bersumpah kami tidak akan korupsi
lagi,” kalimat janji terdengar dari mulut para pemerintah itu. Mendengar
itu, A’ba Diang membalasnya dengan senyuman. Meskipun di raut wajahnya,
A’ba Diang tak dapat menyembunyikan rasa kebingungannya.
“ Kalau
begitu puang, kami mohon pamit dulu. Karena kami masih ingin mendatangi
orang-orang lainnya,” kalimat akhir mereka dengan berjabat tangan sambil
mencium tangan A’ba Diang. Tangan A’ba Diang pun terlihat basah akibat
air mata sesal para pemerintah itu.
Seiring dengan langkah para rombongan para pemerintah itu, A’ba
Diang masih saja bertanya-tanya. Mengapa di hari itu seluruh sifat
orang-orang semuanya berubah. Rasa kebingungan pun sangat tergambarkan
melalui raut wajah dan kening putihnya yang mengerut. Mencoba mengusir
rasa itu, sesuai dengan kebiasaan sehari-harinya ia kembali maraih
al-qu’an yang ada di atas meja bambunya. Tak lama lagi, matahari akan
berganti senja. Kemudian A’ba Diang pun membuka lembaran al-qur’an itu
perlahan-lahan.
Heran melihat kebiasaan orang-orang sekampung yang tidak menyabung
ayam lagi. Bingung akibat hobi pemuda yang tidak bermabuk-mabukan lagi.
Bertanya-tanya mengapa perempuan-perempuan pemuas nafsu tidak melacur
lagi. Dan lebih-lebih tidak percaya menyaksikan para pemerintah yang
tidak akan korupsi lagi. Tapi kali ini, A’ba Diang lebih tidak menyangka
dan tak mengerti lagi. Ketika ia melihat seluruh lembaran al-quran yang
berjumlah seribu seratus dua belas itu semuanya kosong. Juz al-quran
yang berjumlah tiga puluh semuanya lenyap. Ayat yang berjumlah enam ribu
enam ratus enam puluh enam ayat tak satu pun tertinggal. Surah pun yang
berjumlah seratus empat belas juga tak ada lagi. Semuanya menghilang.
Rasanya ingin gila. Begitulah perasaan A’ba Diang di hari itu.
Kaget menyaksikan semua isi al-quran menghilang. A’ba Diang hanya
terlihat menyenderkan kepala ke tiang rumahnya. Hari pun tak lama lagi
berganti malam. Ia masih saja tak mengerti. Apa maksud semua perubahan
itu. A’ba Diang sepertinya berfikir. Apakah kesadaran orang-orang
semuanya berhubungan dengan hilangnya isi al-quran. Sesekali ia
berfikir, apakah sebelumnya orang-orang telah mengetahui kehilangan
ayat-ayat al-quran. Sehingga di hari itu mereka takut dan akhirnya
bertobat. Ataukah akibat perubahan merekalah yang mengakibatkan ayat
al-quran menghilang. A’ba Diang pun sedikit bertanya pada hati sendiri.
Apakah sifat buruk manusia itu tidak dapat menghilang lagi. Apakah
sifat-sifat tercela manusia sudah menjadi suratan dari tuhan. Dan itu
tidak dapat berubah lagi. Mungkin itulah maksud tuhan sehingga Ia
menurunkan firmannya untuk hamba-hambanya. Karena tuhan telah memberikan
dua sifat untuk manusia. Sifat baik dan buruk. Jika tuhan hanya
memberikan sifat baik saja, maka tak bergunalah firman-firmannya.
Wallahua’lam. Hanya tuhan yang tahu. Begitulah seterusnya asumsi-asumsi
A’ba Diang sampai ia dipanggil kembali di sisi tuhannya. Hingga
meninggalpun ia tak mengerti dengan semuanya. Ia sendiri pun menyadari,
andai ia mengerti, maka tuhan pun tak jadi tuhan lagi.