Search This Blog

Hilangnya Ayat Dalam Al - Qur'an

Tak lama lagi mentari menyingsing dari balik birunya pegunungan. Bintang pengantar raja siang mulai redup perlahan-lahan. Suara kokokan ayam jantan beberapa kali terdengar dari balik peraduannya. Dari arah jalan setapak beberapa rombongan orang terlihat dari mesjid. Mungkin mereka baru saja menunaikan ibadah
shalat subhu. Pemandangan seperti itu tak seperti biasanya. Hari itu agak sedikit aneh. Sebab biasanya hanya beberapa orang saja yang mau bangun cepat untuk shalat, itu pun semuanya hanya orang tua, tak satu pun anak muda. Tapi di hari itu berbeda, hampir semua orang yang ada di kampung itu telah ikhlas menunaikan shalat berjamaah. Mulai dari anak-anak, remaja, hingga orang tua.

Dari balik jendela rumah sederhana yang atapnya terbuat dari daun bakau terlihat seorang kakek tua melirik ke arah rombongan jamaah itu. Kakek yang umurnya sekitar delapan puluh tahunan itu berdiri ronta ditemani sepucuk tongkat yang terbuat dari kayu yang ditebang dari belakang rumahnya beberapa puluh tahun silam. Pandang matanya yang jelas sudah tak seperti anak muda tetap saja terfokus pada mereka. orang tua itu hanya tersenyum simpul.

Kedua kening kakek itu yang mulai nampak memutih itu sepertinya mengerut. Kakek yang biasa disapa orang dengan A’ba Diang itu sangat terlihat keheranan melihat para rombongan itu. Sepertinya semuanya akibat suasana yang menyapa di pagi itu sangat berbeda dihari sebelumnya. Kopiah yang menutupi hampir separuh rambut putihnya diangkatnya hingga ke ubun-ubun kepalanya. Berdiam sejenak, dan sesekali mulutnya yang sudah tak bergigi lagi ingin mengucapkan sesuatu.

Setelah langkah para rombongan itu berlalu dari pandangan mata A’ba Diang, ia pun mulai bergegas menuju ruang rumahnya yang terbuat dari anyaman bambu. Suara reok lantainya yang akan membuat hati deg-degan bagi siapa saja yang mendengarnya. Namun semua itu sepertinya lumrah-lumrah saja Buat lelaki jompo itu. Suara gesekan lantai dari bambu itu pelan-pelan menghilang. Seiring terbitnya mentari menyongsong dari balik cerahnya biru pegunungan dari sisi kanan rumah A’ba Diang.

Sekitar jam tujuh pagi, seperti biasanya A’ba Diang mulai meraih tongkatnya kembali menuju belakang rumahnya. Dengan seluruh tubuhnya yang mulai gemetaran ia masih saja terlihat begitu kuat untuk melangkahkan kakinya ke kebun miliknya yang ada di belakang rumahnya sendiri. Sarung yang bercorak putih biru yang sudah tampak begitu kusam seakan membantu untuk mengangkat kedua kakinya secara bergantian. Akhrinya A’ba Diang mulai terlihat mencabuti satu persatu rerumputan yang tumbuh lebat di seluruh kebun singkongnya.

Baru beberapa menit saja menjongkok sambil mencabuti rumput yang menghijau, A’ba Diang pun mulai terlihat mengucurkan keringat di seluruh tubuhnya. Melihat semua itu, matahari seakan sungkan untuk menyinarinya. Namun disebabkan keterbiasaan, A’ba Diang terlihat santai saja. Meskipun batuk sesekali terdengar keluar dari kerongkongan mulutnya.
Bukan karena dia takut tak akan makan jika tak bekerja. Namun akibat keterbiasaan bekerja selama ia masih muda dulu membuatnya tak enak badan jika tak bekerja lagi. Itulah sebabnya, meskipun tubuh sudah berbau tanah, A’ba diang masih saja tetap tekun bekerja.

Matahari masih saja nampak bersinar lembut di dinding langit. Seperti lembutnya A’ba Diang bekerja. Namun, di balik pandangannya yang mulai rabun, bola matanya sepertinya sedang melirik sesuatu. Memang, di arah sisi kiri kebunnya, di bawah naungan rimbunnya pohon mangga terlihat beberapa kadang ayam. Bukannya A’ba diang sedang mencari-cari di mana keberadaan ayam-ayamnya. Tetapi melainkan lelaki tua itu menunggu-nunggu datangnya rombongan penyabung ayam. Heran, A,ba Diang sangat terlihat keheranan. Mengapa jam hampir separuh dari setengah hari para penyabung ayam itu belum juga bermunculan. Padahal di hari-hari sebelumnya, boleh dikatakan matahari belum sempat hadir menyinari siang kampung itu telah diramaikan oleh hempasan-hempasan sayap ayam yang melompat menghantam lawannya dengan tararing tajamnya. A’ba Diang terus saja diselimuti rasa keheranan.

Bukan hanya tempat penyabung ayam yang sepi. Setiap harinya di kampung A’ba Diang pun diramaikan oleh para pemuda membawa gadis-gadis pemuas nafsu berkeliaran dalam keadaan mabuk. Namun di hari yang itu juga, tapak-tapak jalan terlihat sepi oleh mereka. A’ba Diang pun semakin diselimuti ribuan kata tanya. Ada apa dan mengapa.

Disebabkan rasa ketidak percayaan yang begitu menjulang tinggi, A’ba Diang tak merasa raja siang pun telah bersinar tepat di atas ubun-ubun kepalanya. Lalu sejurus dengan itu Suara azan pun telah menggema dari arah mesjid yang tidak begitu jauh dari letak rumahnya. Baru tersadarkan akan hal itu, A’ba Diang pun mulai berdiri perlahan-lahan dari jongkoknya dan bergegas melangkah munuju gubuk tuanya dengan tongkatnya yang setia menemaninya ke mana A’ba Diang Melangkah. Sesampai di gubuknya, ia masih saja memikirkan hal apa yang membuat sehingga kebiasaan miring orang-orang sekampungnya itu sudah tiada lagi.

Dengan berjalan pelan, A’ba Diang meletakkan kopiahnya yang sudah tak menghitam lagi ke samping tongkatnya yang ada di atas meja yang terbuat dari bambu. Lalu ia pun terlihat bersandar di tiang rumah sekedar ingin mengusir rasa lelahnya melalui hembusan nafasnya. Namun, tidak berapa lama kemudian A’ba Diang seketika tersentak. Setelah beberapa menit memandangi kalender pemberian calon gubernur beberapa bulan yang lalu. Bukan karena apa, rupanya A’ba Diang tersentak akibat mendengar riuhnya orang-orang sekampung menuju mesjid. Sepertinya mereka ingin menjalankan ibadah shalat dzuhur secara berjamaah. Dari balik daun jendela rumahnya, A’ba Diang melihat betapa ramainya mesjid di hari itu. Semakin saja A’ba Diang tak mengerti dengan kelainan orang-orang sekampungnya. Akhirnya, dengan mengusir semua itu, A’ba Diang memutuskan untuk membersihkan tubuhnya. Lalu ia pun mendirikan shalat.

Selepas mendirikan salat dzuhur dan makan siang, A’ba Diang kembali duduk santai di depan pintu gubuknya. Pandangannya tiba-tiba saja tertuju pada rombongan pemerintah dari pusat hingga daerah sedang bercengkrama dengan orang-orang yang baru saja pulang dari mesjid. Memperhatikan rombongan itu, ternyata mereka ingin meminta maaf kepada orang-orang. Hal itu diketahuinya ketika rombongan pemerintah itu mendatangi rumah A’ba Diang.
“ Assalamualaikum puang. Maksud kedatangan kami ke kampung ini ingin meminta maaf,” kata seorang perwakilan rombongan. Dengan keadaan heran, sambil berjabatan tangan A’ba Diang berkata.
“ Maaf sebelumnya. Maksud bapak dan ibu sekalian apa”.

Sambil meneteskan air mata, salah satu lelaki yang berpakaian dinas itu kembali berkata,
“ Begini puang. Selama ini kami banyak melakukan kesalahan kepada masyarakat. Termasuk ke puang. Selama ini kami banyak melakukan korupsi. Memakan uang-uang rakyat. Dan tidak pernah memperdulikan orang-orang yang tidak mampu. Jadi kami mohon puang, maafkanlah kesalahan-kesalahan kami selama ini,” kalimatnya yang terdengar tersendat-sendat akibat air mata tangisan mereka yang tak terbendung lagi.
“ Oh. Tidak apa-apa nak. Anggaplah semua itu hanyalah sebuah kesalahan yang mengantarkan kita ke jalan yang benar,” balas A’ba Diang.
“ Terimah kasih puang. Kami janji, mulai sekarang kami akan bekerja hanya untuk semata-mata demi kemasalahatan masyarakat. Kami bersumpah kami tidak akan korupsi lagi,” kalimat janji terdengar dari mulut para pemerintah itu. Mendengar itu, A’ba Diang membalasnya dengan senyuman. Meskipun di raut wajahnya, A’ba Diang tak dapat menyembunyikan rasa kebingungannya.
“ Kalau begitu puang, kami mohon pamit dulu. Karena kami masih ingin mendatangi orang-orang lainnya,” kalimat akhir mereka dengan berjabat tangan sambil mencium tangan A’ba Diang. Tangan A’ba Diang pun terlihat basah akibat air mata sesal para pemerintah itu.

Seiring dengan langkah para rombongan para pemerintah itu, A’ba Diang masih saja bertanya-tanya. Mengapa di hari itu seluruh sifat orang-orang semuanya berubah. Rasa kebingungan pun sangat tergambarkan melalui raut wajah dan kening putihnya yang mengerut. Mencoba mengusir rasa itu, sesuai dengan kebiasaan sehari-harinya ia kembali maraih al-qu’an yang ada di atas meja bambunya. Tak lama lagi, matahari akan berganti senja. Kemudian A’ba Diang pun membuka lembaran al-qur’an itu perlahan-lahan.

Heran melihat kebiasaan orang-orang sekampung yang tidak menyabung ayam lagi. Bingung akibat hobi pemuda yang tidak bermabuk-mabukan lagi. Bertanya-tanya mengapa perempuan-perempuan pemuas nafsu tidak melacur lagi. Dan lebih-lebih tidak percaya menyaksikan para pemerintah yang tidak akan korupsi lagi. Tapi kali ini, A’ba Diang lebih tidak menyangka dan tak mengerti lagi. Ketika ia melihat seluruh lembaran al-quran yang berjumlah seribu seratus dua belas itu semuanya kosong. Juz al-quran yang berjumlah tiga puluh semuanya lenyap. Ayat yang berjumlah enam ribu enam ratus enam puluh enam ayat tak satu pun tertinggal. Surah pun yang berjumlah seratus empat belas juga tak ada lagi. Semuanya menghilang. Rasanya ingin gila. Begitulah perasaan A’ba Diang di hari itu.

Kaget menyaksikan semua isi al-quran menghilang. A’ba Diang hanya terlihat menyenderkan kepala ke tiang rumahnya. Hari pun tak lama lagi berganti malam. Ia masih saja tak mengerti. Apa maksud semua perubahan itu. A’ba Diang sepertinya berfikir. Apakah kesadaran orang-orang semuanya berhubungan dengan hilangnya isi al-quran. Sesekali ia berfikir, apakah sebelumnya orang-orang telah mengetahui kehilangan ayat-ayat al-quran. Sehingga di hari itu mereka takut dan akhirnya bertobat. Ataukah akibat perubahan merekalah yang mengakibatkan ayat al-quran menghilang. A’ba Diang pun sedikit bertanya pada hati sendiri. Apakah sifat buruk manusia itu tidak dapat menghilang lagi. Apakah sifat-sifat tercela manusia sudah menjadi suratan dari tuhan. Dan itu tidak dapat berubah lagi. Mungkin itulah maksud tuhan sehingga Ia menurunkan firmannya untuk hamba-hambanya. Karena tuhan telah memberikan dua sifat untuk manusia. Sifat baik dan buruk. Jika tuhan hanya memberikan sifat baik saja, maka tak bergunalah firman-firmannya. Wallahua’lam. Hanya tuhan yang tahu. Begitulah seterusnya asumsi-asumsi A’ba Diang sampai ia dipanggil kembali di sisi tuhannya. Hingga meninggalpun ia tak mengerti dengan semuanya. Ia sendiri pun menyadari, andai ia mengerti, maka tuhan pun tak jadi tuhan lagi.