Search This Blog

Penyesalan

Umurku dengan kaka tidak terpaut jauh, hanya berbeda 2 tahun. Kami sekarang sudah pada jenjang sekolah menengah akhir, kakak kelas 3 dan aku kelas 1 dengan sekolah yang sama. Kaka memang lebih pintar dariku dan itu menjadi salah satu hal yang dapat membuat ayah bangga. Ayah selalu membanding-
bandingkan kami sejak kecil. Usaha sekeras apapun untuk membuat ayah bangga padaku tidak dapat merubah semuanya. Perbedaan itulah yang membuat kakak menjauhiku dan menganggap aku tidak pernah ada. Kakak jarang berbicara denganku, dia hanya berbicara seperlunya denganku. Disekolahpun, sempat kita bertemu kakak sama sekali tidak pernah menyapaku. Aku hanya tersenyum dengannya. Ayah selalu menganggapku tidak pernah ada didunianya, tidak pernah melihatku bahwa aku selalu ada.

Ayah hanya bersikap masa bodoh saat menunjukan sertifikat dari sekolah sebagai lulusan terbaik di sekolahku dulu sebelum memasuki sekolah sekarang. Tidak seperti sikap ayah pada kakak saat itu juga menerima lulusan terbaik. Ayah memberika pujian yang begitu membanggakan diri kakak, kakak boleh meminta apapun yang dia minta.
“pertahankan belajarmu, kakakmu masih dapat lebih dari itu” kata ayah
Perkataan itu membuat hancur semua usaha aku selama ini. Aku sudah belajar mati-matian untuk meraih semua ini agar ayah melihatku bahwa bukan kakak saja yang akan menjadi anaknya masih ada anaknya yang sedang menunggu sebagai incaran matanya.
Kehadiran ibu yang selalu menjadi penyemangat dalam hidup. Ibu selalu mengerti dan memahami apa yang aku rasakan selama ini. Ibu selalu memberi motivasi untu tidak menyerah. Hidup selalu berjalan, suatu saat nanti ayah akan sadar bahwa aku ada untuk ayah.
Pagi ini aku dan kakak berangkat kesekolah. Kami selau berangkat dan pulang bersama diantar oleh pak robi supir kami. Kami mencium tangngan kedua orangtua kami untuk berpamitan berangkat ke sekolah. Ayah mencim kening kakak setelah mencium tangan ayah, namun tidak denganku hany ibu yang mencium keningku.
Pak doni guru matematikaku mengisi pelajaran pertama dikelasku hari ini. Pelajaran yang membuat otak anak-anak di kelasku menjadi panas. Bel untuk istirahat telah berbunyi. Aku dan teman sebangkuku pergi kekantin untuk mengisi perut dan merefresh otak gara-gara pelajaran tadi.
“akhirnya terbebas dari angka-angka yang membuat pusing” kata Rita sambil duduk di kursi kantin
“baru pemanasan aj sudah pusing apalagi kalo sudah tahap yang paling berat pasti mulai ubanan tuh rambut” candaku
“mungkin....kamu sih gampang...otak kamu udah diseting untk menerima pelajaran dengan mudah...lain dengan otakku yang isisnya Cuma pulang....pulang...dan pulang”

Aku hanya tersenyum mendengar ocehannya. Rita pergi membeli minuman. Aku masih duduk ditampat yang sama karena masih bingung ingin membeli apa. Aku mendengar ada keributan di tempat rita membeli minuman. Aku mulai mendekat ketempat tersebut. Rita sedang duduk di lantai sambil ketakutan. Aku menyuruhnya untuk berdiri dan menanyakan apa yang terjadi.
“oh...jadi itu teman kamu” kata suara cewek yang aku kenal
“kakak” aku memandanginya
“bilang ketemanmu untuk hati-hati, jangan sampai terulang kembali...ayah akan tahu hal ini dan kamu siap-siap untuk dimarahi ayah” kata kakak sambil meninggalkan kita
Rita menceritakan kejadian tadi. Dia tidak sengaja menumpahkan minuman kebaju kakak. Saat Rita berbalik kakak tepat berada di belakangnya dan minuman itu tumpah begitu saja di seragam kakak. Selain pintar kakak juga menjadi ketua osis, maka kakak menjadi “peran utama” disekolah kami. Sikap kakak yang sering bersikap bahwa sekolah ini seperti miliknya, membuat siswa dan siswi takut padanya. Kakak selalu dikelilingi oleh 2 teman ceweknya yang selalu nurut apa yang diperintahkan oleh kakak.
Pulang sekolah ini aku dan kakak menunggu pak robi menjemput kami. Seragam kakak masih kotor gara-gara minuman rita yang tumpah tanpa dia sengaja. Kakak terlihat masih marah dan siap-siap untuk bilang pada ayah. Pak robi sudah datang untuk menjemput kami.

Siang ini masih aman dari cengkraman tangan kakak, karena ayah masih dikantor. Haya ada ibu dirumah. Kakak tidak bercerita pada obu tentang kejadian tadi. Kakak pasti tahu ibu tidak mungkin memarahaiku karena ibu selalu mendengar terlebih dahulu penjelasanku sebelum menyalahkanku. Suara mobil ayah digarasi membuat senyuman kakak mengembang disore mendung ini. Aku, ibu dan kakak sedang melihat tv. Ayah menghampiri kami, ibu membawakan tas dan jaz ayah kekamar. Lagi-lagi ayah hanya menyapa kakak padahal ayah pasti tadi melihatku yang ada disitu tapi ayah pura-pura tidak melihatku.
“bagaimana sekolah hari ini” tanya ayah pada kakak
“buruk yah” jawab kakak
“lo kok buruk kenap memangnya cerita dong sama ayah”
“tanya aja ke vanya”
“vanya...hubungannya apa dengan vanya” ayah masih menanyai kakak
“tadi....seragam vani terkena minuman temannya vanya saat dikantin dan itu membuat seragam vani jadi kotor...vani malu yah masak seorang ketua osis dibuat malu sama anak kelas satu apa kata anak-anak yang lain...pasti mereka pada netawin vani yah” cerita kakak
“bener itu...temen kamu sedah menumpahkan minuman keseragam kakak kamu” tanya ayah padaku
“iya...tap kan...”

Sudah beruntung kamu menjadi adik seorang ketua osis...tapi kamu malah membuat kakak kamu malu didepan teman-temannya...sekarang kamu hanya bersikap seperti tidak terjadi apa-apa” kata ayah yang mulai memarahiku
“ada apa ini yah” tanya ibu yang baru datang menghampiri kami
“teman anak kamu ini sudah membuat malu kakaknya di depan temannya dengan menumpahkan minumannya keseragam vani”
“sudahlah yah jangan memperpanjang masalah, pasti teman vanya juga gak sengaja...ya kan vanya”
“percuma bu...vanya menjelaskan yang salah ataupun yang benar sekalipun tidak akan membiat ayah mengerti ...karena selama ini hanya kakak dan kakak yang menjadi anak ayah...jadi hal yang benarpu dianggap salah oleh ayah” kata ku sambil berdiri
“dasar anak tidak tahu diuntung”

Ayah berdiri dari sofa dan hendak menamparku tapi ibu menghalanginya. Aku terpaku melihat sikap yah malam ini. Air mataku mulai menetes dan berlari menuju kamar. Entah bagaimana selanjutnya yang terjadi di luar. Aku membungkam suara tangisanku dengan bantal sambil berbaring diatas ranjang agar tidak terdengar dari luar. Ibu membuka pintu kamarku dan mencoba untuk menghiburku.
“sudah sayang...jangan menangis lagi masih ada ibu yang siap membela dan selalu berada disamping kamu”

Aku tetap menangis melampiaskan segala beban dan masalah yang ada. Ibu masih disampingku untuk menghaburku. Tangisanku mulai berhenti dan mendekap kepelukan ibu.
“apa vanya salah telah mengucapkan semua vanya rasakan” kataku
“nggak sayang...kamu gak slah kok”
“tapi kenapa ayah sampai berbuat seperti itu...apa yang membuat ayah tidak pernah melihat kearah vanya bahwa vanya selalu ada dihadapan ayah dan hanya kakak yang selalu menjadi incaran mata ayah”
“kamu harus bersabar...suatu saat semua yang kamu inginkan akan terjadi...ayak akan melihat kamu sebagai vanya...anaknya yang dia sayang dengan cahaya yang sangat terang”kata ibu sambil melepaskan pelukannya dan menghapus air mataku
“apa jadinya vanya tanpa ibu”
Malam ini membuat aku untuk menerima semuanya dan mencoba untuk melupakannya. Aku meminta maaf pada kakak dihadapan ayah. Kakak hanya memberikan senyuman kemenangan atas semua yang dia lakukan. Ayah dan kakak meninggalkanku yang masih berdiri. Kakak memang sudah membalas jabatan tanganku tapi ayah tetap bersikap sinis setelah kejadian tadi.
Pukul 6 pagi ayah sudah siap-siap untuk pergi ke bandung karena ada klien yang ingin bertemu dengan ayah. Ibu menyiapkan segala keperluan yang dibutuhkan oleh ayah. Kakak dengan wajah yang muram, membujuk ayah untuk tidak berangkat. Tapi ayah dengan rayuannya bahwa apapun yang kakak pinta akan ayah berikan sepulang dari bandung. Wajah kakak langsung berubah saat ayah berjanji seperti itu. Aku, ibu dan kakak mengantar ayak ke garasi. Ayah mencium kening ibu dan kakak setelah bersalaman dengan ayah. Aku mengulurkan tanganku untuk bersalaman dengan ayah, namun ayah bersikap acuh dengan tidak melihat kearahku dan menolak uluran tanganku. Ibu mencegah ayah yang sedang menaiki mobil untuk menjabat tanganku. Tapi ayah tetap tidak menghiraukannya. Ayah pergi dari pandanganku semakin jauh dan jauh.

Ibu menyuruh kakak untuk berangkat ke sekolah bersamaku, karena kakak dijemput sama teman-temannya. Kakak menolak dengan beribu alasan. Akhirnya aku mengalah untuk naik angkot. Sampai disekolah banyak anak yang berkumpul didepan mading. Aku menghampirikerumunan itu dan melihat tulisan yang sangat besar.
“vanya dan rita kelas 1 B adalah pecundang”

Anak-anak melihatku dengan wajah yang penasaran. Aku tidak tahu yang siapa yang tega menulis seperti itu. Kertas itu aku sobek dan menanyakan secara lantang siap yang menulisnya.
“aku” kata suara di seberang
“kakak” aku melihat kakak dan temannya menghampiriku
“huh...kenapa kagetya”

Aku pikir masalah ini sudah berakhir...karena aku sudah meminta maaf...walaupun aku merasa tidak bersalah”
“trus apa dong namanya...kalo seorang vanya yang rela meminta maaf ke kakaknya hanya karena kasih sayang seorang ayah itu namanya apa....kalo bukan...pe...cun..dang...udahlah ya gak penting juga ngurus pecundang kayak dia....yuk capcus” kata kakak sambil meninggalkanku
“tunggu...memang hanya kakak yang membuat bangga ayah dengan segala kelebihan kakak...tapi suatu saat aku akan menjadi lebih membuat bangga dengan kekuranganku”
Kakak tidak menghiraukanku dan terus berjalan meninggalkaku, semua anak-anak mulai meninggalkanku satu-persatu. Rita menghampiriku mencoba untuk menghiburku.

Dua hari sudah ayah pergi keluar kota dan kata ibu nanti malam ayah sudah kembalilagi ke rumah. Kakak sudah tidak sabar menanti kepulangan ayah. Dia terus saja menunggu ayah mulai ruang tamu sampai depan rumah. Nmun ayah belum juga menunjukan kepulangnnya. Ibu mulai khawatir karena tadi ayah telepon sudah berada didekat rumah, tapi kenapa belum juga pulang kerumah. Tidak lama kekhawatiran mengenai ayah, telepon rumah berdering membuat kecemasan semakin meninggi.
“hallo”
“dengan ibu anita”
“benar saya sendiri”
“ini dari rumah sakit cinta ingin mengabarkan bahwa suami ibu mengalami kecelkaan dan sekarang dimohon kedatangan keluarga pak surya ke rumah sakit”

Kami segera datang kerumah sakit cinta tempat ayah dirawat. Baru kali ini akau melihat kakak menangis. Sekarang yang aku rasakan adalah perasaan diman seorang anak ingin menggantikan posisi seorang ayang yang sakit. Agar aku yang sakit bukan ayah. Kami melihat dokter keluar dari kamar rawat ayat. ibu menanyakan keadaan ayah pada dokter. Beliau terdiam sejenak, seakan ada berita buruk yang akan disampaikan. Tapi saat dokter handak menjawat pertanyaan ibu, suster memanggil dokter karena ayah sudah sadar. Dokter mengizinkan kami untuk masuk kedalam.
“kenapa semua gelap...ibu..vani”kata ayah
“ayah ini ibu:
“bu kamu dimana trus vani juga kemana kenapa semua menjadi gelap begini...ayah tidak bisa melihat apa-apa bu...ayah tidak bisa melihat bu....ayah tidak buta kan bu...ibu jawab...bu”

Ayah histeris dengan keadaannya sekarang. Dokter menyuruh suster untik memberi suntikan obat penenangketubuh ayah, ayah yang tadi histeris mulai tenang dan tertidur. Dokter dan sister meninggalkan kami. Kakak keluar dari kamar rawat ayah karena tidak kuat melihat keadaan ayah sekarang. Ibu menyusulnya keluar dan aku mencoba berjalan pelan-pelah kearah ibu dan kakak.
“vani gak mau punya ayah buta seperti itu...apa kata teman-teman vani kalo ayah vani buta bu....ayah yang selama ini vani banggakan sekarang ayah tidak bisa berbuat apa-apa....vani malu”
“ternyata kamu malu mempunyai ayah yang buta seperti ayahmu yang sekarang....ayah lebih baik tidak ada lagi dikehidupan kalian” sahut ayah yang tiba-tiba datang dan mendengar percakapan kakak
Ayah pergi meninggalkan kita dengan berpegangan tembok dirumah sakit. Banya barang dan orang yang jatuh gara-gara ditabarak oleh ayah yang tidak dapat melihat. Aku menyusul ayah yang berjalan kearah luar rumah sakit. Ayah terus berjalan sampai keluar jalan dan banyak kendaraan yang berlalulalang disekitar sana. Ada 1 mobil yang semakin mendekat ke ayah yang sudah berada ditengah-tengah jalan. Aku menarik tangan ayah menuju samping jalan agar ayah selamt. Mobil itu kini mengenaiku dan membuatku tidak sadarkan diri.

Mataku antara ingin aku buka dan aku tutup. Aku melihat suster membersihkan darah yang mengalir dari tubuhku dan dokter sibuk memeriksaku. Tanaga yang tersisa aku kumpulkan untuk menyuruh suster memanggilakan kelurgaku yang pasti khawatir dengan keadaanku. Suterpun memanggil ibu, kakak dan ayah. Mereka sekarang berada disampingku.
“ibu.....ja...ngan...khawatir...vanya akan baik-baik saja....vanya....ingin...i..bu tersenyum...di harini....maaf....apabila...van...ya tidak bisa lagi menemai ibu dihari-selanjutnya”
“sayang...sudah ya kamu jangan bicara lagi...ibu yakin kamu masih tetap ada disamping ibu...lihat ayah sekarang ada disini dan juga kak vani...mereka mengangis ini gara-gara kamu....kamu pasti tidak ingin melihat kita menangiskan” isak ibu
“ayah....kakak...vanya...min...ta...maaf...kare..na...vanya tidak bisa menjadi anak dan a...dik seperti yang...ka..lian minta....hanya...dengan mata vanya....yang da...pat vanya be..rikan keyah...agar aya...h dapat membuat kakak bahagia kembali dan ayah dapat menjadi ayah yang dapat dibanggakan oleh kakak....ayah juga...da..pat...melih...at va...nya dengan mata vanya....dengan..cahaya yang terang”
“vanya....ayah mohon untuk pertam kalinya...kamu harus bertahan...karena ayah tidak mau meliahat kalo kamu tidak ada di samping kami...maaf kan ayah yang tidak pernah melihat kearah kamu...tapi sekarang ayah akan selalu melihat kerah kamu tanpa membedakakan kamu dan kakak kamu”
Ibu, kakak, dan ayah menangisiku yang sudah tidak berada disamping mereka. Operasipun berlangsung dan berhasil membuat ayah dapat melihat kembali. Mereka berpelukan dan menangis dalam kebahagiaan yang begitu indah. Walaupun aku tidak dapat bersama mereka, tapi aku dapat melihat kebahagiaan itu dari mataku yang ada ditubuh ayah. Aku dapat tidur dengan tenang selamnya dan akan selalu tersimpan dihati mereka.