Sejak kecil, Riska hidup di keluarga yang sederhana. Kesederhanaan itu
membuat dia selalu bersikap rendah hati. Tak bisa membayangkan gadis
berusia sepuluh tahun ini sudah bersanding dengan masalah kehidupan yang
amat berat. Tak sedikit para tetangga yang merasa iba padanya. Keadaan
seperti itu yang membuat dia
tetap semangat untuk hidup. Hidup memang
suatu proses yang harus dijalani.
Bapaknya hanyalah seorang
pedagang bakso tusuk yang kerjaannya berkeliling di sekitar kampung,
atau terkadang menyandarkan sepedanya di depan gerbang sekolah dasar
kampung setempat. Penghasilan yang didapat pun tak seberapa. Sedangkan
ibunya yang baru dua tahun silam ini meninggal dunia karena penyakit
asma, hanya seorang ibu rumah tangga biasa yang sesekali mencari
pekerjaan dengan menjadi buruh tani, atau mencari kayu bakar di
pegunungan kampung setempat.
Hidup mengajarkan Riska untuk menjadi gadis yang tagar. Dulunya orang
tua Riska adalah seorang guru ngaji, mereka terhitung orang yang biasa,
mereka tak pernah lepas mengajarkan anak-anaknya pendidikan agama.
Karena letak rumah Riska yang jauh dari mushola kampung, terlebih masjid
besar, maka Riska tak pernah datang ke mushola atau masjid untuk
belajar mengaji. Bapaknya selalu bilang, “Jangan takut nak, asal Riska
tahu Bapak tidak akan membiarkan anak Bapak buta agama.”
Seiring dengan berputarnya roda kehidupan, keluarga sederhana ini pun mengalami tingkat perekonomian yang amat terpuruk. Pak Selamet, begitu biasa orang memanggil bapaknya Riska kini tak bisa berjualan lagi. Hasil jualannya selama ini tidak menghasilkan keuntungan, yang ada untuk membeli bahan dasar bakso tusuk tersebut mereka menghutang kesana kemari, hingga sekarang tak ada lagi yang mau meminjamkan uangnya pada keluarga Pak Selamet.
“Pak kok gak jualan lagi?” tanya Riska dengan polosnya.
“Kita tak mendapat keuntungan dari jualan bakso tusuk itu nak, mungkin Allah memilihkan jalan yang lain untuk keluarga kita mendapatkan rezeki.”
Gedis kelas 4 SD ini hanya bisa menatapi bapaknya yang pergi berlalu tanpa berkata-kata lagi sambil membenarkan kerudungnya yang kebesaran.
Musibah pun terus datang silih berganti. Kini kakaknya, Meita sakit parah. Setelah membawanya pada Pak Mantri (sebutan orang yang ahli dalam bidang kesehatan di kampung setempat), ternyata kakaknya disarankan untuk dibawa ke rumah sakit dengan tidak memberikan alasan yang jelas. Pak Mantri hanya menyebutkan kata-kata singkat, “mungkin ada gangguan pada ginjalnya”
Langsung saja setelah mengetahui hal tersebut, mereka mengayuh sepeda kumbangnya menuju rumah RT setempat. Mereka memohon untuk dibuatkan surat keterangan miskin agar dapat membawa anak pertamanya itu ke puskesmas, karena letak rumah sakit sangatlah jauh di kota besar sana.
Akhirnya sekolah Riska pun terganggu, karena dia harus menunggui kakaknya di puskesmas.
“Kakak harus sembuh ya, bapak sedang mencari uang untuk pengobatan kakak.”
Gadis kecil ini pun terus berada disamping kakaknya dengan tak henti-hentinya berdoa. Tak jarang gadis ini mengaji dan membacakan sholawat nabi untuk kakaknya. Orang-orang yang dirawat satu ruangan dengan kakaknya itu pun merasakan ketenangan hati dengan mendengarkan Riska mengaji, walau suaranya lirih dan lembut. Tapi Riska mengaji menggunakan hati, suaranya dalam sekali hingga sesekali air mata mengalir di pipinya yang imut itu.
Tiba-tiba seorang ibu-ibu menghampiri Riska.
“Nak kau bangus sekali mengajinya, belajar mengaji dimana?”
“Saya diajari oleh bapak saya Bu.”
“Kenapa tidak ikut lomba murrotal Al-Qur’an saja, kebetulan sekolah diniah di kampung ibu sedang mengadakan perlombaan.”
Riska pun berpikir keras tentang tawaran ibu-ibu tadi. Setelah ia tahu ternyata mengikuti lomba seperti itu membutuhkan biaya pendaftaran yang menurut gadis sekecil itu cukup besar. Hanya Rp. 20.000 saja memang, tapi ia tidak mungkin meminta pada bapaknya. Untuk biaya pengobatan kakanya saja bapaknya itu harus mencari pekerjaan dan pinjaman kesana kemari.
“Hadiahnya lumayan, untuk juara 1 sebesar Rp. 250.000 lumayan untuk bantu-bantu biaya pengobatan kakakmu.”
Kata-kata seseorang di puskesmas itu terus terngiang dalam benak Riska.
“Aku harus bisa mencari uang pendaftaran itu, harus!”
Dengan semangat dan tekad yang tinggi Riska berusaha mencari uang. Dia mencoba jualan gorengan bibi warung dekat rumah ke sekolah dan keliling kampung. Dia juga menjadi tukang cuci di kampung setempatnya hingga terkumpul uang sebanyak Rp. 15.000 sedang batas waktu pendaftarannya itu tinggal sehari lagi.
Dalam hening, Riska terus gelisah, dia terus memikirkan bagaimana cara menutupi kekurangan biaya pendafaran tersebut.
“Yaa Allah aku ingin mengikuti perlombaan itu, berilah aku Rp. 5000 lagi saja Yaa Allah, umurku terlalu kecil untuk mengerjakan pekerjaan berat. Semua orang mencibirku. Tapi aku tidak mau menjadi seorang pengemis, aku akan terus berjuang dengan kemampuanku. Aku mohon, beri aku jalan, jalan yang Engkau ridhoi Yaa Allah..”
Dalam hati Riska memanjatkan doa di sholat malamnya, disamping sang kakak yang tak sadarkan diri.
“Mamah...boleh aku minta uang Rp. 5000 mah?” Dia terus mencari cara sambil tiba-tiba teringat akan ibunya, sebagaimana polosnya anak berusia 10 tahun yang masih butuh sekali perhatian sang ibu.
Lama sekali bapaknya tak kunjung datang, kakaknya semakin parah karena tak mendapatkan perawatan intensif. Bahkan Riska mendapat cibiran dari perawat puskesmas.
“Mana bapakmu? Sudah berapa lama dia meninggalkanmu? Dia tidak peduli apa dengan kakakmu? Kakakmu ini sudah sakharotul maut tapi bapakmu tak juga menyelesaikan proses administrasinya, mana bisa kita melakukan perawatan tanpa biaya??”
“Bapak sedang mencari uang Bu”
“Halaaah jangan-jangan dia kabur lagi lepas tanggung jawab, sudah tak menganggap kalian sebagai anaknya lagi!”
“Astagfirullahal’adzim Bu, bapak saya tidak seperti itu.....”
Mendadak Riska menghentikan kata-katanya. Dia teringat selalu pesan ibunya, bahwa akan ada banyak orang yang membuat hati kita sesak dengan prasangka buruk, maka jangan biarkan kita terhanyut didalamnya, karena sesungguhnya diam adalah emas.
Akhirnya sosok yang ditungu-tunggu pun datang. Bapaknya pulang membawa hasil. Sang kakak pun kini mulai mendapatkan perawatan. Riska ragu ingin meminta uang pada bapaknya. Tapi lagi-lagi seorang bapak mampu membaca pikiran anaknya.
“Ada apa nak? Ada sesuatu yang ingin kau sampaikan pada bapak?”
“Emmm...ti..tidak kok pak.”
“Ayo bilang saja pada Bapak ada apa?”
“Emm...boleh Riska minta uang Rp. 5000 pak?”
“Buat apa?”
“Riska ingin ikut lomba murrotal Al-Qur’an pak, dan itu ada uang pendaftaraanya. Kalau Riska juara 1, hadiahnya lumayan Rp. 250.000 bisa untuk membantu pengobatan kakak pak.”
Bapaknya pun tercengang mendengar perkataan putri kecilnya itu. Dan akhirnya Riska mampu mengikuti lomba itu. Sebelum tampil di panggung dia berucap dengan lirih,
“Kakak, aku akan berusaha untuk menang, akan ku persembahkan semuanya untukmu, bertahanlah kak, Bismillah.....”
Belum selesai gadis itu melantunkan ayat-ayat Allah dengan indahnya. Sang bapak datang dengan mata berkaca-kaca. Tanpa sadar mata Riska tiba-tiba langsung terarah pada bapaknya. Dia berhenti sejenak lalu melanjutkan lagi sambil meneteskan air mata, sehingga suaranya agak sedikit parau.
Ketika sudah turun pangung, dia berharap tidak ada hal buruk yang terjadi. Dia hanya diam menatap bapaknya yang tak berkata-kata, dia tak berani memulai pembicaraaan dengan bapaknya itu. Sampai tiba saatnya pengumuman juara. Tiba-tiba bapaknya mengeluarkan kata-kata..
“Riska, kakakmu...”
Perkataan itu terpotong sejenak karena Riska fokus mendengar pengumuman pemenang, ternyata sampai juara tiga pun nama Riska tak kunjung disebutkan.
Hingga bapaknya kembali melanjutkan kata-katanya,
“Kakakmu telah menyusul ibu nak..”
Rasa sedih, hancur, kecewa, bercampur jadi satu. Semua perjuangan yang telah dilakukan seakan tidak membuahkan hasil sama sekali, bagaikan pohon yang daunnya jatuh dan tak berbuah. Semua yang dari awal dipertaruhkan untuk sesuatu yang akan dipersembahkan dalam hal kebaikan, ternyata tak membuahkan hasil. Setiap keringat yang bercucuran, air mata yang mengalir tak tertahankan, usaha yang benar-benar menguras tenaga, doa yang terus dipanjatkan setiap saat, kita tak pernah tahu semua akan dibalas tepat waktu seperti apa yang kita inginkan. Tapi semua akan terjawab dan terbalas pada waktu yang tepat. Hidup ini memang kejam, bila kita berpikir segalanya akan sia-sia.
“Riska, putri bapak yang paling tangguh, jangan pernah menyalahkan siapa-siapa ya nak, semua sudah kehendak Allah. Riska harus sabar dan ikhlas. Maafkan Bapak yang belum mampu membahagiakan Riska. Tapi Bapak tahu, Riska anak yang cerdas, sholehah, dan tak akan pernah meninggalkan perintah Allah. Riska mampu berdiri setegar ini karena Allah, Dia tidak akan menguji seorang hamba diluar kemampuannya. Ingat, bukan kesabaran namanya jika masih mempunyai batas, dan bukan keikhlasan namanya jika masih merasakan sakit.”
Mereka pun berpelukan dalam tangis.
Seiring dengan berputarnya roda kehidupan, keluarga sederhana ini pun mengalami tingkat perekonomian yang amat terpuruk. Pak Selamet, begitu biasa orang memanggil bapaknya Riska kini tak bisa berjualan lagi. Hasil jualannya selama ini tidak menghasilkan keuntungan, yang ada untuk membeli bahan dasar bakso tusuk tersebut mereka menghutang kesana kemari, hingga sekarang tak ada lagi yang mau meminjamkan uangnya pada keluarga Pak Selamet.
“Pak kok gak jualan lagi?” tanya Riska dengan polosnya.
“Kita tak mendapat keuntungan dari jualan bakso tusuk itu nak, mungkin Allah memilihkan jalan yang lain untuk keluarga kita mendapatkan rezeki.”
Gedis kelas 4 SD ini hanya bisa menatapi bapaknya yang pergi berlalu tanpa berkata-kata lagi sambil membenarkan kerudungnya yang kebesaran.
Musibah pun terus datang silih berganti. Kini kakaknya, Meita sakit parah. Setelah membawanya pada Pak Mantri (sebutan orang yang ahli dalam bidang kesehatan di kampung setempat), ternyata kakaknya disarankan untuk dibawa ke rumah sakit dengan tidak memberikan alasan yang jelas. Pak Mantri hanya menyebutkan kata-kata singkat, “mungkin ada gangguan pada ginjalnya”
Langsung saja setelah mengetahui hal tersebut, mereka mengayuh sepeda kumbangnya menuju rumah RT setempat. Mereka memohon untuk dibuatkan surat keterangan miskin agar dapat membawa anak pertamanya itu ke puskesmas, karena letak rumah sakit sangatlah jauh di kota besar sana.
Akhirnya sekolah Riska pun terganggu, karena dia harus menunggui kakaknya di puskesmas.
“Kakak harus sembuh ya, bapak sedang mencari uang untuk pengobatan kakak.”
Gadis kecil ini pun terus berada disamping kakaknya dengan tak henti-hentinya berdoa. Tak jarang gadis ini mengaji dan membacakan sholawat nabi untuk kakaknya. Orang-orang yang dirawat satu ruangan dengan kakaknya itu pun merasakan ketenangan hati dengan mendengarkan Riska mengaji, walau suaranya lirih dan lembut. Tapi Riska mengaji menggunakan hati, suaranya dalam sekali hingga sesekali air mata mengalir di pipinya yang imut itu.
Tiba-tiba seorang ibu-ibu menghampiri Riska.
“Nak kau bangus sekali mengajinya, belajar mengaji dimana?”
“Saya diajari oleh bapak saya Bu.”
“Kenapa tidak ikut lomba murrotal Al-Qur’an saja, kebetulan sekolah diniah di kampung ibu sedang mengadakan perlombaan.”
Riska pun berpikir keras tentang tawaran ibu-ibu tadi. Setelah ia tahu ternyata mengikuti lomba seperti itu membutuhkan biaya pendaftaran yang menurut gadis sekecil itu cukup besar. Hanya Rp. 20.000 saja memang, tapi ia tidak mungkin meminta pada bapaknya. Untuk biaya pengobatan kakanya saja bapaknya itu harus mencari pekerjaan dan pinjaman kesana kemari.
“Hadiahnya lumayan, untuk juara 1 sebesar Rp. 250.000 lumayan untuk bantu-bantu biaya pengobatan kakakmu.”
Kata-kata seseorang di puskesmas itu terus terngiang dalam benak Riska.
“Aku harus bisa mencari uang pendaftaran itu, harus!”
Dengan semangat dan tekad yang tinggi Riska berusaha mencari uang. Dia mencoba jualan gorengan bibi warung dekat rumah ke sekolah dan keliling kampung. Dia juga menjadi tukang cuci di kampung setempatnya hingga terkumpul uang sebanyak Rp. 15.000 sedang batas waktu pendaftarannya itu tinggal sehari lagi.
Dalam hening, Riska terus gelisah, dia terus memikirkan bagaimana cara menutupi kekurangan biaya pendafaran tersebut.
“Yaa Allah aku ingin mengikuti perlombaan itu, berilah aku Rp. 5000 lagi saja Yaa Allah, umurku terlalu kecil untuk mengerjakan pekerjaan berat. Semua orang mencibirku. Tapi aku tidak mau menjadi seorang pengemis, aku akan terus berjuang dengan kemampuanku. Aku mohon, beri aku jalan, jalan yang Engkau ridhoi Yaa Allah..”
Dalam hati Riska memanjatkan doa di sholat malamnya, disamping sang kakak yang tak sadarkan diri.
“Mamah...boleh aku minta uang Rp. 5000 mah?” Dia terus mencari cara sambil tiba-tiba teringat akan ibunya, sebagaimana polosnya anak berusia 10 tahun yang masih butuh sekali perhatian sang ibu.
Lama sekali bapaknya tak kunjung datang, kakaknya semakin parah karena tak mendapatkan perawatan intensif. Bahkan Riska mendapat cibiran dari perawat puskesmas.
“Mana bapakmu? Sudah berapa lama dia meninggalkanmu? Dia tidak peduli apa dengan kakakmu? Kakakmu ini sudah sakharotul maut tapi bapakmu tak juga menyelesaikan proses administrasinya, mana bisa kita melakukan perawatan tanpa biaya??”
“Bapak sedang mencari uang Bu”
“Halaaah jangan-jangan dia kabur lagi lepas tanggung jawab, sudah tak menganggap kalian sebagai anaknya lagi!”
“Astagfirullahal’adzim Bu, bapak saya tidak seperti itu.....”
Mendadak Riska menghentikan kata-katanya. Dia teringat selalu pesan ibunya, bahwa akan ada banyak orang yang membuat hati kita sesak dengan prasangka buruk, maka jangan biarkan kita terhanyut didalamnya, karena sesungguhnya diam adalah emas.
Akhirnya sosok yang ditungu-tunggu pun datang. Bapaknya pulang membawa hasil. Sang kakak pun kini mulai mendapatkan perawatan. Riska ragu ingin meminta uang pada bapaknya. Tapi lagi-lagi seorang bapak mampu membaca pikiran anaknya.
“Ada apa nak? Ada sesuatu yang ingin kau sampaikan pada bapak?”
“Emmm...ti..tidak kok pak.”
“Ayo bilang saja pada Bapak ada apa?”
“Emm...boleh Riska minta uang Rp. 5000 pak?”
“Buat apa?”
“Riska ingin ikut lomba murrotal Al-Qur’an pak, dan itu ada uang pendaftaraanya. Kalau Riska juara 1, hadiahnya lumayan Rp. 250.000 bisa untuk membantu pengobatan kakak pak.”
Bapaknya pun tercengang mendengar perkataan putri kecilnya itu. Dan akhirnya Riska mampu mengikuti lomba itu. Sebelum tampil di panggung dia berucap dengan lirih,
“Kakak, aku akan berusaha untuk menang, akan ku persembahkan semuanya untukmu, bertahanlah kak, Bismillah.....”
Belum selesai gadis itu melantunkan ayat-ayat Allah dengan indahnya. Sang bapak datang dengan mata berkaca-kaca. Tanpa sadar mata Riska tiba-tiba langsung terarah pada bapaknya. Dia berhenti sejenak lalu melanjutkan lagi sambil meneteskan air mata, sehingga suaranya agak sedikit parau.
Ketika sudah turun pangung, dia berharap tidak ada hal buruk yang terjadi. Dia hanya diam menatap bapaknya yang tak berkata-kata, dia tak berani memulai pembicaraaan dengan bapaknya itu. Sampai tiba saatnya pengumuman juara. Tiba-tiba bapaknya mengeluarkan kata-kata..
“Riska, kakakmu...”
Perkataan itu terpotong sejenak karena Riska fokus mendengar pengumuman pemenang, ternyata sampai juara tiga pun nama Riska tak kunjung disebutkan.
Hingga bapaknya kembali melanjutkan kata-katanya,
“Kakakmu telah menyusul ibu nak..”
Rasa sedih, hancur, kecewa, bercampur jadi satu. Semua perjuangan yang telah dilakukan seakan tidak membuahkan hasil sama sekali, bagaikan pohon yang daunnya jatuh dan tak berbuah. Semua yang dari awal dipertaruhkan untuk sesuatu yang akan dipersembahkan dalam hal kebaikan, ternyata tak membuahkan hasil. Setiap keringat yang bercucuran, air mata yang mengalir tak tertahankan, usaha yang benar-benar menguras tenaga, doa yang terus dipanjatkan setiap saat, kita tak pernah tahu semua akan dibalas tepat waktu seperti apa yang kita inginkan. Tapi semua akan terjawab dan terbalas pada waktu yang tepat. Hidup ini memang kejam, bila kita berpikir segalanya akan sia-sia.
“Riska, putri bapak yang paling tangguh, jangan pernah menyalahkan siapa-siapa ya nak, semua sudah kehendak Allah. Riska harus sabar dan ikhlas. Maafkan Bapak yang belum mampu membahagiakan Riska. Tapi Bapak tahu, Riska anak yang cerdas, sholehah, dan tak akan pernah meninggalkan perintah Allah. Riska mampu berdiri setegar ini karena Allah, Dia tidak akan menguji seorang hamba diluar kemampuannya. Ingat, bukan kesabaran namanya jika masih mempunyai batas, dan bukan keikhlasan namanya jika masih merasakan sakit.”
Mereka pun berpelukan dalam tangis.