Jika tak ada yang dikatakan, maka mulut tak bicara lagi. Suatu hal tak
pernah terjadi jikalau mata tak pernah lihat. Bila gerak tersentuh
gestur, imbas pada ucap rasa semata. Tidaklah bermakna seutas rasa,
andai kata tak lagi ucap. Entah esok atau lusa, semuanya melangkah
pasti. Indah rasanya indah, biarlah berlalu bagai
badai datang menyapa.
Tiada kata melainkan kasih datang menyapa. Itulah kehebatan cinta oleh
rasa tak pernah ada.
“ Putusssss” begitulah kata terakhir pacarnya yang terus terngiang di
sudut relung hati. Detik, menit, dan di jam itu yang terus merayap pada
batang tubuh waktu Ia masih merasakannya. Sama sekali tak mengerti
mengapa kekasihnya rela melepaskannya begitu saja. Segala rasa yang
berbentuk kasih, serupa sayang, beronggok cinta semuanya Ia hidangkan di
porsi hati kekasihnya. Namun sekali badai merajuk hujan, semuanya
meleleh di got rasa jambangan lain. Memang benar kata bijak, cinta bagai
jelangkung, datang tak dijemput, pulang tak menyapa”.
“ Ah,,,” di ruang secuil hatinya mencoba bergemim lagi. Mati satu tumbuh
seribu. Itulah kata yang ditaburkan pada semangat juang cintanya. Sebab
ia yakin, dewi-dewi yang haus akan belai setia sang dewa menanti kasih
bagai seorang menunggu angkot. Yah, walau ia sedikit sadar, pembenaran
tak lepas dari belenggu sakit hatinya.
Tak terasa hampir sebulan wanita yang pernah mengisi hari-hari Harun
jauh dari tatap hatinya. Tak terasa pula ruang senyap hati tak terisi
dengan belaian sapa wanita. Hilir mudik mencari bekas serpihan rasa,
namun tak ada jua. Akhirnya cintalah yang membuat harinya melepas gundah
sekian waktu. Mungkin inilah takdir hati, memeluk gunung tangan tak
sampai.
Lembayung menghiasi langit senja. Tak lama lagi ratu malam menelan hari.
Dewi-dewi malam akan bergelantungan di pojok remang malam. Hanya
gemerlap bintang jadi saksi, derainya waktu berlalu lagi. langkah kaki
Harun menelusuri tapak jalan tajam krikil. Genangan air hujan di
sepanjang jalan seakan menjadi saksi derainya waktu ada guraian tangis
menyelinap di sepanjang hari. Namun anehnya, tak sedikit pun ada tanda
tangisan di hari itu. Ia tetap saja berjalan solah-olah turut memboyong
duka hatinya.
“ Tak ada marah bila ia bersenggama di tatap mata. Tetap tersenyum walau
ia melukai rasa. Berkata iya andai ia berkehendak. Merasa sakit bila ia
merasakannya. Tetapi apa yang menyebabkan ia meninggalkanku. Apa rasa
sayang ini keliru di rasanya ”. Fikiran hati harun terus bertanya
menemani di sepanjang jalan. Memang, bukan sekedar iklan berkata, rasa
tak pernah bohong. Walau ia ingin melupakan, tapi rasa itu selalu saja
datang menghantui. Membuat ia tak mampu menyapa pada bahagia yang
terselip.
Dengan dihantui fikiran tanya, tak terasa kini ia berada pada lorong
jalan dipenuhi aroma minuman para dewa-dewi malam. Kepulan asap filter
mengisi segala ruang udara. Harun yang tak biasa menghirupnya sedikit
batuk. Kembali kedua kakinya melangkah.
“ Main mas,,,” sapanya pada Harun. Bahkan tidak jarang tangannya mencoba
meraih harga dirinya. Sedikit kaku membuatnya gugup. Terus saja Harun
menelusuri lorong mencari sesuatu yang tepat pada rasanya.
“ Main mas, murah kok,” sapa manisnya mencoba merayu. Segala aroma
parfum berbagai merk semerbak mekar mawar di pagi hari. Sesekali angin
malam membawa bisikkan nafsu padanya. Tetap saja pendirian digenggamnya
erat takut lepas dari tangan. Dewa-dewa yang mungkin tak puas dengan
belaian permaisurinya banyak betebaran di tatap Harun. Pangeran-pangeran
muda ingin meluapkan birahinya terkadang menyapa malu. Lalu para
Dewi-dewi malam itupun melihatnya bagai malaikat pembawa emas. Segala
rayuan pun melayang pada remang-remang malam. Termasuk pada Harun.
“ Mas. Mampir dong mas. Terserah mas mau ngapa’in”. Tiba-tiba saja
lembut kata bertandang dikedua telinga. Sapa manisnya membuat mata Harun
ingin menatap.
Merah bibir tipisnya, membuat pancaran lampu pijar berkilau. Lengkung
alis bak kelok jalan seakan membuat niat hati ingin berkelok. Bola indah
matanya, mengalahkan pancaran bola lampu penerang jalan. Sungguh indah
mahakarya tuhan. Tak lepas menatapi indah tubuhnya, Harun mencoba
menghampiri dengan melempar senyum padanya. Mungkin tak ingin lepas dari
mangsa, Dewi malam itu pun kembali melempar senyum termanisnya. Mencoba
membuat mekar hati Harun padanya.
“ Di sini saja mas,. Tidak perlu jauh-jauh. Semuanya sama kok di sini.
Sama-sama sudah tidak ada yang suci,” kalimat nakalnya membuat Harun
sidikit tersenyum malu padanya. Mamasukkan kedua telapak tangan di saku
celana, Harun sekedar mengusir rasa segan.
“ Maaf, boleh kenalan tidak,” balas Harun sambil memberikan telapak kanan padanya.
“ Lisa “.
“ Harun”. Senyum kembali menghiasi wajah mereka.
Angin malam semakin saja menyuntikkan jarum es ke sum-sum tulang. Segala
aroma wangi terus bersenggama pada aroma minuman Dewa-Dewi malam.
Kalimat demi kalimat mengantar mereka pada keakraban. Rasanya waktu tak
lagi bergulir. Segalanya fakum membisu menyaksikan deraian-deraian luka
meneteskan kucuran darah.
“ Masuk kamar dong mas. Di luar udaranya dingin.
“ Begini neng Lisa, kamu bisa keluar tidak dari tempat ini. Kita main di
hotel saja,” lelaki itu mencoba mengabulkan hasrat awalnya.
“ Waduh,, mas ini banyak maunya juga yah. Tunggu sebentar, Lisa izin
dulu pada mami,” sedikit canda melepas langkah kaki dewi malam itu
menuju sudut belakang rumah. Kembali Harun menghembuskan rasa gugup
bersama desah nafasnya. Tak berselang lama kemudian, teriak manis
kembali terdengar,
“ Mas, kata mami maunya berapa lama. Takut harganya anjlok,”
“ Satu minggu saja neng Lisa,” balasnya singkat.
Dengan diantar mobil angkot, kini mereka tepat berada di depan hotel.
Indah gedung bertingkat ditelusuri dengan tatap mata Harun. Langkah kaki
berlanjut memasuki hotel. Gaun merah yang Lisa kenakan seakan
menghipnotis segala penghuni hotel. Terjebak keliru menjajikan mereka
menatap Harun salah. Puluhan pasang mata, tertuju pada Lisa dengan
senyumnya. Sedikit tenang terus saja melangkah menuju kamar yang
kuncinya sudah ada di tangan Harun. Baru tersadar, di sepanjang jalan
sama sekali Harun dan Lisa tak bersua. Melainkan segalanya mengalir
berderai begitu saja.
Seiring cekikan daun pintu kamar berhenti, dengan sedikit melirik ke
segala ruang kamar Harun memandangi Lisa tengah terbaring. Kaget,
seketika hati lelaki itu kaget usai menatap Lisa. Terlebih lagi saat
ucap manjanya mengisi kosong gendang telinga,
“ Mas, tunggu apa lagi. Biarlah malam menjadi saksi kehangatan kita.
Dekap Lisa mas. Seminggu aku menjadi milik mas Harun semata. Dekat sini
dong mas.” Semburan kata Lisa sembari melepas gaun merahnya. Kaget.
“ Tu, tu, tunggu dulu neng Lisa, aku ke kamar mandi dulu. Tolong,
bajunya dipakai lagi. Ok,” Harun dengan sangat bergegas melangkahkan
kaki ke kamar mandi.
Dinginnya dekap malam, tak lagi terasa. Segala sudut ruang penuh aroma
mapan terus bertengger di mana-mana. Kucuran air sesekali terdengar dari
dalam kamar mandi. Lisa tergolek indah di atas springbad empuk berwarna
putih. Senyum tipis sambil membelai rambut sendiri, Lisa terus menatap
ke pijar remang lampu kamar. Hasrat tak sabar seakan menjelma meranumi
benak Lisa malam itu. Tak lama kemudian, Harun kembali dengan wajah
penuh linangan butiran air. Terus melangkah meraih kain yang tengah
terdiam di atas meja. Seketika aneh, tatapan yang tak biasa di mata Lisa
membuatnya keheranan. Hampir saja lengkung alisnya menyatu. Terus saja
bola indah matanya menatap heran pada tingkah Harun seketika.
“ Allahu Akbar,” kalimat takbir Harun mengawali shalat. Lalu tak lama
kemudian, hanya beberapa menit saja Harun mengucapkan kata salam,
“ Assalamualaikum Warahmatullahi Wabaraktuh”.
Penuh kobaran kesal, seonggok demi seonggok hasrat senggama melayang.
Deraian-deraian kecewa berlinang ke seluruh rasa Lisa. Andai tak biasa,
mungkin Dewi malam itu tak lagi bersemuka di hadapan Harun.
Paham dengan apa yang tengah dirasakan, Harun mencoba mendekati Lisa yang diam terduduk.
“ Neng Lisa, sebelumnya aku Minta maaf, sudah berapa tahun Neng Lisa
bekerja seperti ini,” dengan sangat hati-hati Harun mencoba
menghangatkan suasana. Lisa yang masih diselimuti rasa heran berbaur
kesal sedikitpun tak menggubris sapa Harun.
“ Neng Lisa, kok hanya diam. Pertanyaan aku melukai rasamu,”
“ Iya lelaki bodoh” balas Lisa dalam hati. “ Tidak apa-apa kok Mas
Harun. Asal mas Harun Tahu, semenjak umurku masih belasan, aku sudah
menapaki hidup seperti ini. lho kok Mas Harun Berkata seperti itu. Apa
Mas mau aku yang mencubui mas,” lanjut kata Lisa dengan mencoba
merayapkan telapak tangannya ke tubuh Harun yang kaku. Seketika saja
Harun mencegahnya dengan lembut.
“ Maaf Neng Lisa, sebenarnya aku hanya...”
“ Kenapa, Mas Harun grogi yah, tenang saja mas, kalau memang tak pernah,
ntar Lisa ajarin. Peluk aku dong Mas,” kembali Lisa menyemburkan kata
manisnya.
Semakin berlalunya waktu, semakin pula ribuan godaan ditepukkan ke wajah
hasrat Harun. Tetapi teguh pendiriannya bak pohon berdaun rimbun.
Perlahan-lahan raut wajah Lisa berubah. Kesal bertamu pada benaknya.
Sepertinya Dewi malam itu ingin beranjak dari kamar hotel. Namun sekoin
receh terus saja meleburkan niatnya. Detak-detik jarum jam seakan ikut
merayu, tetap saja seperti biasa. Harun tenang menjaga sikap.
“ Neng Lisa, aku tidur duluan yah. Malam menjelang larut. Aku harap Neng
Lisa tetap ada bersamaku. Selama masa tenggang kontrak kita belum usai.
Selamat malam yah Neng,, Semoga indah bertamu pada mimpimu.” Kalimat
terakhir Harun menutup perjalanan harinya di malam itu.
Terdiam. Membisu berselimut kesal tergambar jelas di raut wajah Lisa.
Sama sekali ia tak menyangka bahwa lelaki yang membawanya tak ada niat
menikmati indah tubuhnya. Tak mampu mengelak dari rasanya, terkadang
tatap matanya berkata bahwa ia menyimpan kata tanya pada lumbung
hatinya. Baru pertama kali ada lelaki yang menolak rayu manisnya. Lisa
semakin tak mengerti. Ditatapnya dalam-dalam wajah Harun yang terlelap.
Sesekali dengkuran-dengkuran lembut lelaki itu terdengar, membuat
kelopak mata Lisa ikut terasa berat. Mencoba melupakan, Dewi malam itu
pun merebahkan tubuhnya di samping Harun, dengan posisi tubuh saling
membelakangi. Malam seketika berhenti. Pagi bersiap menjemput siang.
***
Andai ada ayam, kokokannya pun akan mengisi diseluruh pelataran hotel.
Dedaunan bunga penghias berselimut cairan embun. Satu persatu lampu
pijar hotel redup dan malu pada cahaya siang. Lampu kamar masih setia
menyoroti dekapan lelap tidur Harun. Arah jarun jam tepat ke angka lima.
Lengan Lisa perlahan-lahan bergerak hingga menyentuh pundak Harun yang
terlelap. Kedua bola mata Lisa terus mencoba melepas perekat kantuknya.
Lambat laun Lisa membelai rambut Harun dengan lembut. Merasa ada dekapan
merambat hati, tiba-tiba Harun terjaga dari tidur. Lelaki itu kaget.
Tersentak ia beranjak dari tidurnya. Tak tahu harus berkata apa untuk
menjaga perasaan Lisa, ia berkata ala kadarnya,
“ Eh Lisa. Sudah bangun, aku shalat subhu dulu yah”. Usai berkata,
Lelaki yang membuat benak Lisa bingung terus melangkah kearah kamar
mandi.
Melihat lelaki yang tak jelas apa maunya, Lisa semakin tak mengerti.
Ribuan kata tanya terus bertamu pada fikirnya. Kembali ia merebahkan
tubuhnya pada kelembutan springbad.
***
Usai shalat, Harun terlihat melengkah kaki menuju jendela kamar.
Sepasang merpati terbang bebas melintas ditatapnya menambah keestetikaan
pagi itu. Sedikit senyum, Harun menatap indah ke seluruh pelosok kota.
Awan tipis bak kapas bersarang di dinding langit. Lembut angin pengantar
embun terasa menampar wajah Harun. Mengingat ia tak sendiri, Harun
melempar pandangannya ke arah Lisa yang terbaring. Melihat seluruh tubuh
Lisa tertutup selimut, Harun kembali tersimpul,
“ Neng Lisa, aku rasa pagi ini juga kamu harus tahu apa kehendak aku
padamu. Jujur, aku memenggilmu ke tempat ini tak ada niat untuk berbuat
seperti apa yang kau fikirkan. Aku hanya ingin tahu, sebenarnya apa yang
perempuan harapkan dari lelaki”. Mendengar kalimat harun, Lisa tak
sengaja menggubris. Matanya yang terpejam terbuka lebar. Semakin saja
Lisa tak mengerti. Ia terus diam membiarkan Harun berkata.
“ Neng Lisa, dulu aku punya seorang kekasih, Fitri namanya. Tetapi
beberapa bulan merajut kasih bersamanya, tiba-tiba ia marah dan benci
padaku. Tak ada api namun berasap, ia pergi menjauh. Itulah yang
membuatku mencoba mencari jawabannya dari pertemuan kita ini. Aku ingin
tahu sebenarnya apa yang perempuan inginkan dari lelaki. Menyentuhnya
saja aku merasa takut jikalau cintaku pudar padanya. Apalagi membuatnya
terikat dengan sayangku. Bebas bak merpati kusuguhkan padanya.
Semata-mata untuk membuktikan rasa kasihku untuknya,” curahan hati Harun
sembari melangkah ke arah Lisa. Merasakan kini apa yang Harun rasakan,
Lisa tak sengaja melayangkan kalimatnya dengan lembut,
“ Mas Harun, Lisa paham dengan apa yang mas rasakan. Tapi asal mas Harun
tahu, tak ada sumur yang tak bertimba. Sebab sumur ingin tetap menjadi
sumur. Bukan yang lain. Begitu pula dengan wanita, ia rela menjadi sumur
asalkan ada lelaki yang siap jadi timbanya. Sebab perempuan butuh
belaian untuk mengindahkan hasrat kewanitaannya,”
“ Tapi apakah setiap wanita seperti itu,” dengan kaget, Harun menggubris
perkataan Lisa. “ Bukankah wanita seorang kembang mawar yang terjaga,”
Harun melanjutkan.
“ Wanita memang bak sekuntum mawar mas, tetapi mas perlu tahu, bunga pun
tak pernah menolak jika seekor kumbang hinggap menghisap sari madunya.
Mawar butuh kumbang untuk berkembang biak. Begitupun sebaliknya. Jangan
pernah menyalahkan siapa-siapa. Salahkan diri mas sendiri, yang tak
sadar bahwa mas Harun seekor kumbang. Ingat mas, bunga mekar hanya
sekali,” bantah Lisa seakan menggoda fikiran Harun.
Seusai melepas ucap, keduanya sejenak diam. Bisu terkaku bersarang pada
mereka. Angin pagi seakan menunjukkan ia ada, hinggap menyapa wajah. Tak
tahu lagi harus berkata apa, Lisa mencoba beranjak dari tempatnya
menuju ke kamar mandi. Sempat melepar wajah ke arahnya, Harun kembali
meratap memikirkan ucapan Lisa. Lelaki itu sepertinya tak habis fikir,
apa yang dikatakan Lisa barusan akan mengganggu fikirannya. Semakin saja
ia tak menemukan secercah pijar penerang jalan.
“ Kalau begitu mas, aku pulang saja yah. Kontrak kita dibatalkan. Aku
bingung dengan persoalan ini. Mas Harun tak perlu membayarku. Aku juga
tidak menjalankan kewajibanku kok,” tiba-tiba Lisa membuat Harun kaget.
Hampir tak berfikir, lelaki itu meraih lengan Lisa yang lembut.
“ Tunggu dulu neng Lisa. Maaf, bila aku lancang. Aku hanya ingin
ditemani”. Mendengar perkataan Harun, Lisa tak mampu berbuat. Harun
seolah-olah membuat kewanitaan Lisa menguak. Siapa Lisa seakan-akan
tertanggalkan di detik itu. Adanya hanya seorang wanita yang memahami
rasa lelaki.
Derainya waktu mengalir begitu saja. Kucuran-kucuran kalimat membuat
segalanya fakum tak merasa. Lisa dan Harun saling menatap. Gelombang
rasa tak karuan menghasilkan bunyi debur tak pasti. Puing-puing hasrat
yang jadi bingkai perlahan-lahan berdetak. Lambat laun berbuah semerbak
bunga jadi kembang. Kedua bola mata mereka terpijar di altar indah
pesona. Terus saja Lisa dan Harun bersitatap merelakan waktu memboyong
rasa mereka. Keyakinan menjadi nyata bahwa keadaan mempertemukan. Lisa
mengetuk hati, Harun pun mengetuk hati. Keduanya bertemu di satu pintu
yang sama, cinta.
***
Pahit menjelma asam, lambat laun menjadi manis. Begitulah yang dirasakan
Lisa dan Harun. Tak mencungkil masa buram, membuka apa yang ditatap.
Semuanya menatap ke arah jalan yang cerah. Harun mencintai setulus hati,
Lisa mengasihi sepenuh jiwa. Segalanya berubah di sisi Lisa. Kepakan
sayap dewi malamnya dilepas seketika. Harun tak melirik, apalagi
memandangnya. Adanya hanya semerbak bunga yang butuh seekor kumbang.
Walau ia sadari, kembang itu ditebuk tikus.
Benar kata pepatah, Asam Di Gunung Garam Dilaut, Bertemu Di Belanga.
Walau Lisa sangat pahami, rupa boleh diubah tapi tabiat dibawa mati.
Kini Lisa dan Harun tengah mencari anak panah yang terlanjur lepas dari
busurnya.