Pada suatu hari, Tongtonge berhasil membuat “bubu” (alat menangkap ikan). Bubu itu disimpannya di dekat pagar ladangnya. Karena sibuknya membenahi ladangnya, ia tidak sempat ke sungai menangkap ikan dengan bubunya.
Suatu
hari, Tongtonge ingin menangkap ikan di sungai. Kemudian, ia menuju
tempat penyimpanan di mana bubunya. Ternyata bubu itu telah habis
dimakan anai-anai. Dengan nada marah, ia berkata, “Simpan bubu dekat
Pagar, bubu dimakan anai-anai, maka anai-anailah yang saya ambil”.
Dengan berkata demikian, maka dikumpulkanlah semua anai-anai yang ada di
situ. Anai-anai itu dibungkus dan dibawa menjenguk ibunya di kampung.
Sampai di suatu tempat ia beristirahat sejenak.
Karena
kelelahan ia tertidur. Pada saat terbangun, ia segera mengambil
bungkusannya yang berisi anai-anai itu. Tetapi anai-anai itu telah habis
dimakan ayam. la pun berkatalah, “Bubu dimakan anai-anai, anai-anai
dimakan ayam, maka ayamlah yang saya ambil.” Sambil berkata demikian, ia
menangkap ayam yang memakan anai-anai tersebut. Ayam itu lalu dibawanya
melanjutkan perjalanan. Sesampai di suatu pemukiman penduduk, ia
berhenti. Ayam itu dikepitnya kemana pun ia pergi. Melihat tingkah laku
yang aneh itu, salah seorang penduduk menegurnya, “Tongtonge, titipkan
ayammu kepadaku, sementara engkau makan dan beristirahat.”
“Terima kasih, tetapi hati-hati jangan sampai ayamku mati”.
“Jangan khawatir, nanti kalau ayammu mati saya ganti”.
Tak
lama kemudian apa yang dikhawatirkan Tongtonge pun terjadi. Ayamnya
mati terlimpa alu penumbuk padi. Lalu, berkatalah si penumbuk padi,
“Maaf Tongtonge ayammu mati tertimpa alu. Nanti akan saya ganti dengan
ayamku.
Tongtonge menjawab, “Oh tidak, itu tidak adil. Jika ayamku
mati tertimpa alu, maka alu itulah sebagai gantinya”. Lalu ia bergumam,
“Bubu dimakan anai-anai, anai-anai dimakan ayam, ayam mati terlimpa
alu, maka alulah yang saya ambil”.
Setelah bergumam demikian, maka Tongtonge melanjutkan perjalanan dengan memikul alu.
Kampungnya
masih jauh. Di tengah jalan, ia ditegur seorang penggembala sapi, “Hai
anak muda bolehkah Saya meminjam alumu untuk saya jadikan palang pintu
kandang sapi-sapi saya.
“Boleh, tetapi harus hati-hati jangan sampai patah”.
“Kalau hanya itu saja syaratnya, kau boleh ambil salah satu dari seratus sapiku ini”.
Mereka
telah bersepakat. Tongtonge ikut membantu memasang alu itu sebagai
palang pintu. Tidak lama kemudian, seekor sapi yang cukup besar lari
dengan kencang menabrak palang pintu tersebut. Apa yang dikhawatirkan
pun terjadi. Alu itu patah. Tongtonge pun berkata,
“Bubu dimakan anai-anai, anai-anai dimakan ayam, ayam tertimpa alu, alu patah karena sapi, maka sapilah yang saya ambil”.
Selesai
berkata demikian, Tongtonge langsung menangkap sapi yang mematahkan
alunya, kemudian dituntunnya melanjutkan perjalanan menuju kampungnya.
Siang itu, hari cukup terik. Kampung yang dituju masih jauh. Maka
Tongtonge pun beristirahat lagi. Sapinya ditambatkan di bawah pohon
nangka yang rindang. Bau nangka masak tercium olehnya. Lalu, ia
memanjat pohon nangka dan memetik yang telah masak. Pohon itu ridak ada
yang punya, karena tidak terletak di dalam pagar. Ia makan dengan
lahapnya buah nangka yang ternyata sangat manis. Karena kekenyangan, ia
tertidur. Sementara tertidur, angin bertiup agak kencang. Banyak buah
nangka masak yang jatuh. Sebuah nangka yang cukup besar jatuh, menimpa
sapi yang tertambat di bawahnya. Sapi itu mati seketika.
Tongtonge
bergumam pula, “Simpan bubu dekat pagar, bubu dimakan anai-anai,
anai-anai dimakan ayam, ayam mati tertimpa alu, alu patah oleh sapi,
sapi mati tertimpa nangka, maka nangkalah yang saya ambil”.
Setelah
itu, Tongtonge memungut nangka Yang menimpa sapinya, lalu melanjutkan
perjalanan. Karena nangka itu cukup berat, ia perlu beristirahat.
Sampailah ia di sebuah gubug. Di gubug itu tinggal seorang gadis yang
cantik. Gadis itu mengajak Tongtonge beristirahat, dengan maksud
ditawari makan nangka oleh Tongtonge. Akan tetapi, Tongtonge tidak
bermaksud memakan buah nangka itu. Buah nangka itu untuk ibunya.
Tongtonge menitipkan nangkanya kepada gadis itu, sementara ia mandi.
Gadis itu tidak dapat menahan seleranya. Nangka itu pun dikupas dan
dimakannya.
Sekembalinya dari kali, Tongtonge sangat kecewa karena
nangka itu telah dimakan oleh sang gadis. Ia pun berkata dalam hati,
“Diriku memang sial, bubu disimpan dekat pagar, bubu dimakan anai-anai,
anai-anai dimakan ayam, ayam mati tertimpa alu, alu patah oleh sapi,
sapi mati tertimpa nangka, nangka dimakan gadis, maka gadis inilah yang
saya ambil.”
Tongtonge kemudian menyiapkan dua buah keranjang. Keranjang yang satu untuk sang gadis, yang satu diisi batu agar seimbang.
Tongtonge
melanjutkan perjalanan menuju kampung halamannya dengan memikul seorang
gadis cantik. Di tengah jalan ia berhenti mau buang air besar. Gadis di
keranjang berkata, “Tongtonge, kalau mau buang air besar jauh-jauhlah
dari sini. Cari sungai, kalau di dekat sini, nanti saya bisa pingsan
mencium kotoranmu.” Tongtonge pun pergi mencari kali untuk buang air
besar. Sementara itu, si gadis turun dari keranjang, lalu mencari batang
kayu dan batu ditaruh di keranjang mengganti dirinya. Lalu, ia lari
kembali ke kampungnya. Sementara itu, Tongtonge telah kembali.
Tanpa
periksa, segeralah ia mengangkat keranjang itu. Dengan semangat yang
menyala, ia ingin segera menyampaikan berita gembira kepada ibunya,
bahwa ia telah membawa gadis cantik calon istrinya.
Tidak terasa
kampungnya semakin dekat. Rumahnya mulai tampak. Ia bergegas, semakin
dekat, walaupun penuh keringat. Dengan tidak sabar ia memanggil ibunya,
“Ibu! Ibu! Calon menantu ibu telah datang!”
Mendengar suara
Tongtonge, ia menyahut dari dalam, “Kalau batu dan batang taruh saja di
bawah kolong rumah.” Sambil berkata demikian, ibunya membuka pintu.
“Apa yang kau bawa ini Tongtonge?” tanya ibunya. “Ini calon menantu
Ibu,” jawab Tongtonge sambil menunjuk salah satu keranjang.
“Ooo…. batu batang,” jawab ibunya.
“Menantu Ibu datang!” teriak Tongtonge agak keras, sambil mendekatkan mulutnya ke telinga ibunya.
“Kalau
begitu mengapa engkau tidak membukanya!” lanjut ibunya. Ternyata…,
benarlah kata ibunya, setelah keranjang itu dibuka, isinya hanya batu
dan batang pohon. Lemaslah Tongtonge merenungi nasibnya.
Tongtonge
adalah lambang kebodohan, akibat tidak sekolah. Oleh karena itu,
sekolah sangat penting. Dengan bersekolah, kita memperoleh berbagai
pengetahuan dan keterampilan yang menyebabkan kita tidak mudah dibodohi
orang.