Umumnya
para petani keberatan. Kenaikan 20% bukan hal ringan. Pajak yang berat.
Para petani usul agar pajak itu diganti dengan sewa tanah. Akan tetapi,
tuan tanah menolak sebab dialah yang berkuasa. Jadi, dia pulalah yang
menentukan. Mereka yang merasa keberatan lebih baik pindah ke gunung saja.
Praktek-praktek
busuk para mandor beserta centeng-centengnya di sawah waktu menimbang
padi sangat meresahkan para petani. Kalau menimbang padi untuk pajak
tuan tanah dilebih-lebihkan. Pihak petani dirugikan terus. Merekalah
yang selalu menerima bagian paling buruk dan paling sedikit.
Kegiatan lain yang meresahkan para petani adatah “kompenian”, yaitu kerja bakti
tanpa upah untuk kepentingan para tuan tanah. Para petani dan warga
desa, laki-laki dewasa pada umumnya, bersungut-sungut. Mereka sering
berbisik-bisik atau berunding sembunyi-sembunyi untuk melakukan
perlawanan.
“Patahkan saja lehernya!”
Salah seorang petani dan warga desa lainnya menyambut dengan bersemangat, “Ya, nanti kita patahkan lehernya!”
Suasana makin panas.
Tuan
tanah tahu suasana panas itu. Para petani dan warga desa tidak
main-main. Oleh karena itu, permintaan agar pajak diganti dengan sewa
tanah diluluskan. Akan tetapi, banyak petani yang akhirnya tidak mampu
membayar. Barang-barang mereka dirampas mandor dan diserahkan kepada
tuannya. Kalau tetap tidak bisa membayar sewa tanah, atau tidak ada lagi
barang untuk menutup, rumah harus dijual. Pembelinya tuan tanah juga
dengan harga amat murah.
Tuan tanah
sering hanya mendapat rumah rusak. Dia lalu memerintahkan mandor dan
para centeng untuk membakar. Petani-petani malang itu makin sengsara.
Sejak itu suasana semakin buruk.
Pada
tanggal 14 Mei 1914 ada suatu peristiwa, yaitu Taha dihadapkan ke
pengadilan. Dia petani dari Batuampar. Dia diputuskan pengadilan harus
membayar pajak sebesar 7 gulden. Kalau tidak bisa membayar, rumahnya
akan segera disita.
Kemudian, Taha
bercerita kepada kawan-kawannya. Mereka berkumpul di kebun Jaimin, tidak
jauh dari rumah Taha, Orang-orang itu diberi semangat oleh Entong
Gendut. Lalu, mereka berteriak bahwa putusan itu tidak adil.
Kenyataannya,
tiga hari kemudian rumah Taha disita, Tuan tanah hanya membayar 4 1/2
gulden. Untuk melunasi utang pajak saja masih kurang. Gema tidak puas
melanda Batuampar, Entong Gendut dan kawan-kawannya marah sekali. Namun,
untuk melakukan perlawanan terhadap tuan tanah, Para mandor, dan
centengnya, masih dirasa berat bagi Entong Gendut. Dia dan
kawan-kawannya harus mempersiapkan din terlebih dulu, antara lain dengan
belajar dan berlatih silat. Entong Gendut sebagai pelatih karena sejak
dulu dia dikenal sebagai pendekar.
Entong
Gendut dibantu Modin dan Maliki. Mereka dari Batuampar juga. Anggota
perkumpulan silatnya semula hanya beberapa gelintir orang, tetapi
akhirnya bertambah, mencapai lebih dari 400 orang. Di antaranya yang
bersungguh-sungguh adalah Haji Amat Awab, Said Keramat, Nadi, dan
Dullah. Orang-orang Arab ada juga yang ikut, antara lain Ahmad Alhadat,
Said Muksin Alatas dari Cawang, dan Alaidrus dari Cililitan.
Peristiwa
berikutnya terjadi di Vila Nova, rumah mewah milik Lady Rollinson di
Cililitan Besar. Malam itu tanggal 5 April 1916 berlangsung pesta amat
meriah. Hiburan untuk rakyat sekitar juga semarak. Tuan Ament pemilik
tanah luas di Tanjung Timur datang dengan mobilnya. Sebelum sampai di
jembatan, sekelompok orang tidak dikenal melempari mobilnya dengan batu.
Tuan Ament tidak mempersoalkan kaca belakang mobilnya yang pecah dan penyok-penyok
itu. Dia bergegas masuk ke pelataran rumah Lady Rollinson. Di situ dia
bergabung dengan tamu-tamu terhormat lainnya. Dia ikut menyaksikan
hidangan seni berupa musik dan tari-tarian yang menyenangkan. Dia
merasakan nikmatnya wiski, gurihnya daging kalkun, dan semerbaknya
panggang babi. Dia bertukar pengalaman dengan kawan-kawannya yang
sederajat. Ada tuan tanah Kemayoran, tuan tanah Pondok Gede, para
wedana, serta tidak ketinggalan pula noni-noni bermata biru berambut
pirang dan sinyo-sinyo yang tertawa-tawa kecil dan agak malu-malu.
Di
luar halaman berpagar tinggi itu rakyat menonton hiburan gratis seperti
topeng dan wayang kulit. Mereka berjubel. Sekali-sekali mereka yang
berada di luar pagar itu memperhatikan pemandangan pesta di halaman
rumah Lady Rollinson.
Pesta di dalam makin menghangat.
Pasangan-pasangan berdansa diiringi musik. Lalu, mendekatlah seorang
pelayan kepada Lady Rollinson.
“Bagaimana, Tija?” tanya nyonya majikannya. “Saya sudah tahu, Nyonya.”
“Jadi, benar Entong Gendut pimpinannya?”
“Tidak salah, Nyonya.”
“Dia pula yang menggerakkan orang untuk melempari mobil tuan Ament?”
“Ya, Nyonya.”
Lady Rollinson mendekati Tuan Ament dan menganjurkan agar dia melapor ke komandan polisi dengan cepat.
“Tentu
saja, Lady Rollinson,” jawab Tuan Ament, “pada waktu yang diperlukan
saya bisa bertindak cepat. Sekarang tenang saja dulu.”
Tiba-tiba tetabuhan di luar pagar berhenti. Orang-orang yang berjualan makanan dan minuman
menutup
kegiatannya. Para penonton bubar dan pulang ke rumah masing-masing.
Seketika sepi dan lampu-lampu keramaian dimatikan. Hal itu membuat
tamu-tamu yang berpesta di rumah Lady Rollinson mulai berpikir,
jangan-jangan bahaya mengancam. Daripada terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan, lebih baik mereka minta diri kepada nyonya rumah. Mereka
tergesa-gesa pulang dengan bendi atau mobil. Lady Rollinson ikut gelisah
dan marah. Dia segera lapor kepada komandan polisi dan berkeluh kesah
kepada residen.
Sementara
itu, pengaruh Entong Gendut dan pembantu-pembantu dekatnya makin kuat.
Apa yang dikatakan Entong Gendut diikuti semua oleh warga Batuampar dan
sekitarnya. Wedana Meester Cornelis didatangi bawahannya yang
menyampaikan laporan. Ia mengatakan bahwa pengaruh bek di kelurahan
tidak bermanfaat lagi. Telinga dan mulut Entong Gendut ada di mana-mana.
Wedana
Meester Cornelis dikawal komandan pasukan serta polisi melakukan
peninjauan ke Batuampar. Di depan rumah yang diduga milik Entong Gendut,
dia langsung memerintahkannya keluar, kalau tidak pintu akan didobrak.
Entong Gendut menjawab dari dalam akan bersembahyang dulu. Selesai
sembahyang, Entong Gendut menampakkan diri. Dia berjubah putih, di
dadanya tersembul keris, dan tangannya memegang tombak panjang. Para
pengawalnya bersorban dan bertombak berdiri di belakangnya.
“Aku raja dan aku tidak mau tunduk kepada siapa pun. Aku tidak mau mengikuti pimpinan hukum, apalagi buatan Belanda.”
Wedana Meester Cornelis berunding dengan opsir-opsir polisi. Sementara
itu Entong Gendut meneruskan bicaranya, “Wedana, ketahuilah. Aku amat
malu kepada kawan-kawanku para tuan tanah. Mereka telah membakar rumah
penduduk miskin. Apa salah mereka? Hanya karena mereka petani miskin dan
tidak mampu membayar pajak serta sewa tanah yang mahal, lalu rumah
mereka dihanguskan? Amat disayangkan!”
Para
pengikut Entong Gendut lainnya keluar dari semak-semak. Mereka
bersenjatakan panah dan tombak. Wedana dan para pengawalnya kaget
sekali. Dia lalu memerintahkan untuk melepaskan tembakan, ramailah
kampung Batuampar. Tidak sedikit polisi kena bacok dan tertembus anak pariah. Entong Gendut bersuara lantang. Teriakan-teriakan Allahu Akbar menggema.
“Amuk,
amuk!” teriak anak buah Entong Gendut sambil melemparkan tombak dan
mengayunkan pedang. Serdadu Bala bantuan datang. Anak buah Entong Gendut
banyak yang bergelimpangan. Beberapa rumah terbakar, penduduk yang tua,
kaum perempuan, dan anak-anak diungsikan. Akan tetapi, korban warga
Batuampar semakin banyak juga.
Entong
Gendut terluka. Dadanya tertembus peluru, darah segar mewarnai jubahnya
yang putih. Anak buahnya mengerumuninya. Wedana Meester Cornelis
memerintahkan komandan pasukan untuk mengikat tangan Entong Gendut.
Lalu, dia dinaikkan ke tandu dan diangkut ke Rumah Sakit Kwini. Namun,
di tengah perjalanan, Entong Gendut tidak bernapas lagi. Para
pengikutnya dikejar-kejar polisi. Mereka terus dicari sampai ke Condet
dan Tanjung Timur. Setelah tertangkap, mereka dimasukkan ke penjara.