Suatu hari, Pangeran Aji Lesmana marah pada ayah bundanya, “Ayah dan Ibu jahat. Mengapa menyusahkan orang miskin?!”
Raja dan Ratu sangat marah mendengar perkataan putra mereka itu.
“Jangan mengatur orangtua! Karena kau telah berbuat salah, aku akan menghukummu. Pergilah dari istana ini!” usir Raja.
Pangeran Aji Lesmana tidak terkejut. Justru Puteri Rauna yang tersentak, lalu menangis memohon kepada ayah bundamya, “Jangan, usir Kakak! Jika Kakak harus pergi, saya pun pergi!”
Raja dan Ratu
sedang naik pitam. Mereka membiarkan Puteri Rauna pergi mengikuti
kakaknya. Mereka mengembara. Menyamar menjadi orang biasa. Mengubah nama
menjadi Kusmantoro dan Kusmantari. Mereka pun mencari guru untuk
mendapat ilmu. Mereka ingin menggunakan ilmu itu untuk menyadarkan kedua
orangtua mereka.
Keduanya
sampai di sebuah gubug. Rumah itu dihuni oleh seorang kakek yang sudah
sangat tua. Kakek sakti itu dulu pernah menjadi guru kakek mereka.
Mereka mencoba mengetuk pintu.
“Silakan masuk, Anak
Muda,” sambut kakek renta yang sudah tahu kalau mereka adalah cucu-cucu
bekas muridnya. Namun kakek itu sengaja pura-pura tak tahu. Kusmantoro
mengutarakan maksudnya, “Kami, kakak beradik yatim piatu. Kami ingin
berguru pada Panembahan.”
Kakek sakti bernama Panembahan Manraba
itu tersenyum mendengar kebohongan Kusmantoro. Namun karena
kebijakannya, Panembahan Manraba menerima keduanya menjadi muridnya.
Panembahan Manraba menurunkan ilmu-ilmu kerohanian dan kanuragan pada
Kusmantoro dan Kusmantari. Keduanya ternyata cukup berbakat. Dengan
cepat mereka menguasai ilmu-ilmu yang diajarkan. Berbulan-bulan mereka digembleng guru bijaksana dan sakti itu.
Suatu
malam Panembahan memanggil mereka berdua. “Anakku, Kusmantoro dan
Kusmantari. Untuk sementara sudah cukup kalian berguru di sini.
Ilmu-ilmu lainnya akan kuberikan setelah kalian melaksanakan satu
amalan.”
“Amalan apa itu, Panembahan?” tanya Kusmantari.
“Besok pagi-pagi sekali, petiklah dua kuntum melati di samping kanan gubug ini. Lalu berangkatlah menuju istana di sebelah Barat desa ini. Berikan dua kuntum bunga melati itu kepada Pangeran Aji Lesmana dan Puteri Rauna. Mereka ingin menyadarkan Raja dan Ratu, kedua orang tua mereka.”
Kusmantoro dan Kusmantari terkejut. Namun keterkejutan mereka disimpan rapat-rapat. Mereka tak ingin penyamaran mereka terbuka.
“Dua kuntum melati itu berkhasiat menyadarkan Raja dan Ratu dari perbuatan buruk mereka. Namun syaratnya, dua kuntum melati itu hanya berkhasiat jika disertai kejujuran hati,” pesan Panembahan Manraba.
Ketika
menjelang tidur malam, Kusmantoro dan Kusmantari resah. Keduanya
memikirkan pesan Panembahan. Apakah mereka harus berterus terang kalau
mereka adalah Pangeran Aji Lesmana dan Puteri Rauna? Jika tidak berterus
terang, berarti mereka berbohong, tidak jujur. Padahal kuntum melati
hanya berkhasiat bila disertai dengan kejujuran.
Akhirnya, pagi-pagi sekali mereka menghadap Panembahan.
“Kami berdua mohon maaf, Panembahan. Kami bersalah karena tidak jujur kepada Panembahan selama ini.”
“Kami berdua mohon maaf, Panembahan. Kami bersalah karena tidak jujur kepada Panembahan selama ini.”
Saya mengerti, Anak-anakku. Saya sudah tahu kalian berdua adalah Pangeran Aji Lesmana dan Puteri Rauna. Pulanglah. Ayah Bundamu menunggu di istana.”
Setelah mohon pamit dan doa restu, Pangeran Aji
Lesmana dan Puteri Rauna berangkat menuju ke istana. Setibanya di
istana, ternyata Ayah Bunda mereka sedang sakit. Mereka segera memeluk
kedua orang tua mereka yang berbaring lemah itu.
Puteri
Rauna lalu meracik dua kuntum melati pemberian Panembahan. Kemudian
diberikan pada ayah ibu mereka. Ajaib! Seketika sembuhlah Raja dan Ratu.
Sifat mereka pun berubah. Pangeran dan Puteri Rauna sangat bahagia.
Mereka meminta bibit melati ajaib itu pada Panembahan. Dan menanamnya
di taman mereka. Sehingga istana mereka dikenal dengan nama Istana
Bunga. Istana yang dipenuhi kelembutan hati dan kebahagiaan.